Sabtu, 10 Juli 2010

We All Are Animals

Kerusuhan terus terjadi dimana-mana, aparat melawan rakyat biasa alias sipil, aparat melawan aparat, aparat melawan pedagang kaki lima, saling baku hantam, saling hina, saling ejek, bahkan saling bunuh. Sebuah perbuatan yang menjadi tontonan tidak asing di negara ini, sebuah tayangan yang selalu digencarkan oleh setiap stasiun televisi baik lokal maupun swasta, ada apa ini?
Disfungsi sosial terjadi marak dimana-mana, pelacuran diberantas oleh salah satu lembaga aparat negara ini yang katanya selalu rajin digalakan , narkoba yang selalu meracuni kelangsungan hidup generasi muda yang sedang berkembang, korupsi semakin marak dan malah menjadi tren hidup di kalangan para petinggi negara, ada apa ini?
Sebuah fenomena sosial yang pasti terjadi di setiap negara di belahan bumi bagian manapun, gesekan sosial antar satu dengan yang lainnya, kepentingan pribadi yang selalu dijunjung tinggi diatas kepentingan bersama, sekali lagi... Ada apa ini?

***

Perilaku-perilaku manusia yang mengacu pada sebuah karakter-karakter yang bukan manusia, unhumanism. Tergolong rumit bila manusia mempunyai perilaku seperti itu, terlalu malas pula buat dicerna, masa bodoh. Mungkin Konteks tentang kenegaraan, sosiologi seperti itu terlalu jauh untuk menjadi bahan pemikiran kita, tapi tidak saya, maaf.
Tentang kelangsungan hidup beberapa orang yang ada disekitar kita, kalau itu yang paling gampang untuk dibawa masuk kedalam pikiran, atau tentang diri kita sendiri barangkali, itu jauh lebih ternalari oleh pikiran kita, karena kita hidup dalam tubuh kita sendiri, bukan tubuh orang lain. Apa yang terbesit ketika suatu keadaan diri kita atau orang lain yang dekat dengan kita, tidak seperti perilaku orang kebanyakan, ada suatu hal yang ganjil yang terjadi dan berlangsung di diri kita atau orang lain yang tidak tergolong seperti sifat manusia?
Apakah kita akan menjawab, ada kalanya suatu sifat seperti itu terjadi di diri kita dan orang lain, atau itu memang bagian dari sifat manusia yang mungkin belum teridentifikasi dengan nama?
Entahlah, jawaban itu terserah kalian menanggapinya.

Tapi, saya pribadi salah satunya mendeskripsikan perilaku aneh yang terjadi di setiap manusia itu mengacu pada makhluk lain yang keberadaannya ADA di dunia ini atau di bumi ini. Betul, kalau memang pikiran kalian sama dengan pikiran saya, there's animals character live among us. What is it? You tell me. Kalau saya pribadi, kadangkala saya seperti ANJING, gemar berlari kesana kemari, menjilat atas bawah kanan kiri. Kadangkala seperti KUCING, kerjaannya hanya tidur sepanjang hari, kalau lapar lalu bangun makan terus tidur lagi. Mungkin MONYET, doyan sekali melompat di pohon satu ke pohon lainnya (baca : rumah). Mungkin seperti ANJING lagi, menyalak saja sepanjang hari, tapi tidak tahu kenapa. Cukup lucu bagi saya, tapi jangan kau bilang saya ANJING, lalu kau sebut apa dirimu sendiri?
Lihat paragraf yang saya tulis dimuka, para manusia-manusia yang berperilaku seperti itu kalian sebut apa? Saling hantam, saling jilat, saling bunuh... Sebutkan. KECOA, ANJING, BABI, MONYET, TIKUS, ULAR, GURITA, TAPIR, CICAK, BUAYA, terserah... Terserah kalian mau mengidentifikasikan mereka seperti apa, kalau saya, hhmmm... yang seperti saya tulislah.
Dan para binatangpun kerap dianalogikan layaknya wanita atau pria, sifat-sifatnya, tingkah lakunya. Contoh, seperti kumbang-kumbang di taman yang sering menghisap madu katanya, atau seekor burung cucok rowo alias cucak rawa, kalian nyanyikan sendiri liriknya, lalu selain lagu ada istilah-istilah, seperti 'Dog Style', kalian tahukan istilah apa itu, sudah tahu gayanya anjing pakai diturut-turuti segala, 'malu-malu kucing', kucing sekarang malah tidak tahu malu, dan mungkin masih banyak lagi yang saya lupa.
Tapi kalian jangan salah menginterpretasikan karakter binatang ini dengan 'sebutan' binatang okay, bukan itu. Saya tidak mengata-ngatai mereka, saya tidak mengata-ngatai diri saya sendiri, tapi karakter binatang yang hidup di diri saya sendiri, tentu di diri kalian juga.

***

Jabarkan sifat itu untuk diri kalian sendiri, seperti suka menyembunyikan 'wajah' asli di depan orang, suka menjilat orang agar mereka tersanjung lalu disukai, sering berteriak bahkan memaki dengan ironisnya menyebut kata-kata binatang, gemar sekali mengacau membuat onar lalu bertanding kepal dan tendang, mungkin yang lebih halus, pendiam tidak suka bicara tapi dalam hatinya mengoceh tentang segala hal yang ada, pembohong yang sering berkelit dan bersilat lidah, diam-diam tidak pernah meluap emosinya tapi kemudian menyilet-nyilet lengan kirinya. Tolong saya, kalian bantu saya jabarkan lagi segala sifat manusia yang menurut kalian menarik untuk diungkap, dan diasumsikan seperti binatang, tapi bukan dalam artian harfiah, hanya kiasan belaka.

Last words, kalian mengakui atau tidak, mengangguk atau malah menggeleng, sifat ke-binatangan itu sepertinya ada disetiap diri manusia, terkubur rapat di balik wajah ayu nan rupawan tapi palsu, kata-kata manis yang menyesatkan, semoga kalian lebih aware terhadap hal-hal seperti itu, untuk diri sendiri dan untuk orang lain yang kalian sayangi, walau mungkin tidak ada untung-rugi memikirkan hal seperti itu, sayapun berpikir demikian. Atau malah berpikir untuk menjadi binatang itu menyenangkan, hidup bebas dengan alam tak terbendung hal-hal dunia, terbang- berlari- melompat sesuka hati, karena idealnya binatang sama seperti manusia, mereka bebas hidup di bumi ini, tidak dikerangkeng, tidak dipelihara. Okay that's it, it's just an issue... Animal issue.

Salam kebun binatang semuanya, regards.
Cimahi, 28 Mei 2010

Selasa, 06 April 2010


"sometimes I should see my weakness from my back!"

Minggu, 21 Maret 2010

Lapuk

Waktu yang sudah berganti bagi saya
tahun yang terasa seperti bulan
bulan yang berubah menjadi minggu
dan minggu yang berjalan layaknya hari

Tak ada perubahan, tak ada kemajuan
yang ada hanya mulut yang melebar panjang
muka yang menua bagai arang
perut yang membuncit seperti babi

Apalagi menurut kalian ?!
saya tahu, saya seperti katak dalam tempurung
berputar-putar, melompat-lompat
dan akhirnya kembali terjatuh, sialan.

Jawaban Sebelum Pertanyaan : Edisi Kebebasan

Hari ini sebenarnya sering terjadi, hari yang stucked, stunned. Bedanya hari ini saya berhasrat untuk menulis, entah menulis apa, terlalu banyak masalah saya yang ingin saya tulis, entah bernada curhat atau apapun.
Winamp di pc yang saya set shuffle, tiba-tiba mengumandangkan lagu milik The Beatles "Free As A Bird", saya tersentak issue tentang kebebasan sangat dekat sekali sekarang dengan saya, malahan hal ini yang menjadi hal yang saya idam-idamkan belakangan ini, maka saya membuka aplikasi notepad, menulislah saya tentang "kebebasan" ini.

Beberapa definisi kebebasan menurut orang sekitar saya, atau lebih tepatnya kebebasan di kehidupan mereka.
Buat adik saya,
"Kebebasan buat bermain sepuasnya, bisa main ps seharian, gak dimarahi oleh mama."

Buat tukang nasi goreng dekat rumah,
"Kebebasan buat mencukupi kehidupan anak-anak saya, istri saya, gak harus kedinginan berjualan sampai larut malam."

Buat preman sekitar rumah saya,
"Kebebasan buat malakin orang tanpa takut digebukin oleh warga sekitar, dan kebebasan untuk mabok tanpa harus ngeluarin duit buat beli minumannya. (what an idiot!)."

Buat salah satu teman saya yang kuliah,
"Kebebasan buat gak bikin skripsi, gak harus sidang, tapi tiba-tiba lulus dan punya gelar(haha. Proses woy!)."

Buat waria di dekat rumah saya,
"Kebebasan mencari pelanggan tanpa harus marathon dengan satpol pp yang getol nguber-nguber mulu."

Buat tetangga saya,
"Kebebasan bertetangga tanpa harus ada embel-embel digosipin oleh tetangga yang lain."

Buat 5 ekor kucing dirumah saya,
"Kebebasan makan yang enak dengan tidur yang nyenyak."

Buat Ayah saya,
"Kebebasan finasial, kebebasan menyekolahkan anak-anaknya tanpa harus terganggu dengan iuran-iuran yang membengkak."

Buat Ibunda tercinta saya,
"Kebebasan untuk tinggal mengurus urusan rumah saja, dan mendidik anak-anaknya tanpa harus direpoti dengan masalah yang dikasih oleh ayah saya."

Buat seorang Yanuar Kapriradela,
"Kebebasan tanpa harus memikirkan bagaimana caranya mendatangkan uang, kebebasan untuk ikhlas menghadapi masa depan yang apa adanya."

Kebebasan.
Kita memang tidak tahu takaran kebebasan itu sejauh mana?!
Kebebasan yang absolute itu bagaimana?!
Kebebasan yang bukan berarti bebas sebebas-bebasnya, kebebasan yang sederhana yang berkorelasi dengan kehidupan pribadinya sendiri, tidak perlu suatu kebebasan yang berlebihan tapi tidak guna, dalam artian kebebasan yang menghindarkan dari kewajiban sebagai makhluk beradab, as a HUMAN BEING.
Saya memandang suatu kebebasan itu, sesuatu hal yang "mahal".
Saya cukup simple memandang kebebasan dengan kedua mata saya, pembebasan pikiran. Rumit sih sebenarnya, tapi korelasi antara kebebasan dan masalah sepertinya erat sekali, ibarat penyakit dan obat, yang satu menyakitkan yang satu menyembuhkan.
Faktor masalah seringkali menjadi dasar pemikiran manusia disekitar kita menginginkan atau hanya memimpikan kebebasan itu, tanpa ragu pikiran tentang kebebasan itu kadangkala menjadi stimulus pelarian dari rutinitasnya yang berlabelkan manusia, ya, manusia berarti sumurnya masalah.
Dalam artian mata, telinga, dan otak menjadi satu kesatuan, satu kesatuan yang mengikat dan menyaring masalah itu sendiri, masalah itu bertebaran dimana-mana ibarat udara yang berseliweran. Kadang ada yang masuk lewat mata atau telinga lalu mengendap di otak, atau yang hanya lewat saja, relatif.

Beberapa fenomena-fenomena di atas tentang kebebasan menurut mereka adalah contoh kongkrit tentang kebebasan yang paling mereka butuhkan, relatif memang, tapi itu bermakna buat pribadi mereka masing-masing.
Kita tidak perlu menjadi hakim sosial atas permasalahan yang terjadi di hidup mereka yang mungkin bagi kita terlalu diada-ada atau terlalu ringan atau terlalu blablabla atau terlalu cemen.
Samar sepertinya esensi dari freedom ini, tapi bermakna tinggi.
Saya disini pun bertindak bukan sebagai hakim sosial orang-orang disekitar saya, saya hanya berperan sebagai pemerhati, mengangkat issue yang sepertinya menjadi barang mewah akhir-akhir ini, dengan kata lain hal yang sukar untuk dinikmati lagi.

Kalian pikirkan lagi sekarang, apakah kalian sudah mendapatkan kebebasan menurut definisi kalian sendiri, dan apakah kalian sudah mendapatkan kebebasan itu dengan cukup?!
Jangan sekedar jadi robot di episode kehidupan kalian sendiri, kalian tidak diprogram, kalian tidak dipasangi chips yang memaksa kalian untuk menuruti perintah, kalian itu makhluk bebas sama seperti saya.
Makhluk yang berhak mendapatkan kebebasan, beri satu atau dua jam untuk bisa menikmati kebebasan itu, bebas seperti burung.
Nikmati udara yang gratis ini walaupun tidak bersih, nikmati matahari ini yang makin lama makin menyengat, nikmati pantai-pantai yang indah, tidakkah kalian menikmati ketika bulir-bulir pasir memenuhi sela-sela jari kaki?, nikmati pegunungan yang menantang untuk dijelajahi.


"Free as a bird,
It's the next best thing to be.
Free as a bird.
Home, home and dry,
Like a homing bird I'll fly
As a bird on wings.
Whatever happened to
The life that we once knew?
Can we really live without each other?
Where did we lose the touch
That seemed to mean so much?
It always made me feel so... "
The Beatles - Free As A Bird

Beginilah Nasib Si Miskin

Saya memandangi paras muka saya terpantul di kaca sebuah mobil sedan di depan saya, kaca itu berwarna hitam pekat, tidak terlihat sosok manusia yang mengendarainya, saya tidak peduli, saya terus saja bernyanyi dengan nada yang saya buat seriang mungkin, dengan tempo yang acak-acakan dan suara saya yang sedikit parau, saya pikir saya bukan bernyanyi tetapi berkoak-koak mirip seperti burung gagak, dengan dibantu sedikit alunan musik dari tamborin yang saya buat dari besi tutup botol minuman, dan sebatang kayu, saya bernyanyi lagu-lagu masa kini yang diajarkan oleh teman saya, tidak gratis, saya harus membayar untuk sebuah lagu baru, semakin saya beserta teman-teman yang lain menyanyikan lagu-lagu yang paling baru, semakin banyak pula orang-orang yang memberi kita uang barang hanya receh sekalipun, adil, cukup adil menurut saya. Mobil dengan kaca pekat ini tidak membuka membuka, padahal saya sudah memberi bonus sebuah joged, jarang-jarang saya memberi bonus seperti ini, lampu rambu yang awalnya merah sekarang berubah menjadi hijau, mobil itu melesat tanpa memberi saya receh, setan saya pikir, saya tidak mau berteriak mengumpat pada mobil itu, saya harus menghemat tenaga suara saya untuk bernyanyi di lampu merah berikutnya, saya berjalan ke sisi jalan, keringat terus mengucur di sekujur tubuh dan muka saya, kulit yang sudah sangat terbakar matahari, hitam ditambah dengan noda tanah yang sudah melekat beberapa hari ditubuh saya, lalu saya berpikir kapan terakhir kali saya mandi, saya tidak ingat, tempat saya mandi biasanya, sudah tidak ada airnya lagi, jangan berpikiran itu sebuah kamar mandi lengkap dengan kakus dan peralatan mandi yang lengkap seperti di hotel-hotel, tempat mandi saya lebih tepatnya adalah pinggiran jalan, ada sebuah saluran pipa bocor, saya seringkali mandi ataupun bermain air disitu, tapi beberapa waktu lalu beberapa bapak-bapak "merusak" tempat mandi saya, sekarang pipa itu tidak mengeluarkan air lagi, saya memaki kepada bapak-bapak itu, anjing dasar tidak tahu kalau mandi itu sebagian dari kesehatan, menutup tempat mandi orang seenaknya, ah sudah lah, toh walaupun saya berteriak-teriak pada bapak-bapak sialan itu sekalipun, tetap saja bapak-bapak itu meleos pergi tanpa menggubris kata-kata saya.

Panas sekali hari ini, sama seperti hari kemarin-kemarin juga, matahari sudah berada tepat di puncak kepala, memancarkan panasnya hingga ke ujung jempol kaki saya, perut saya berbunyi, setiap hari juga berbunyi, saya hanya makan sekali sehari, tapi kalau saya menemukan harta karun di tong sampah, entah itu nasi bungkus yang tidak habis, ataupun sebuah bala-bala yang sudah penuh dengan gigitan, rasa lapar saya ini sedikit terobati, barang beberapa jam lah, tapi sialan orang-orang makin hari makin pelit, bahkan sampah pun mereka tidak rela untuk dibagi dengan orang seperti saya, tiap kali saya mengoreh-ngoreh tempat sampah, pasti hanya bungkus makanannya tidak tersisa isinya, dasar brengsek, aduh saya lapar sekali sekali, saya merogoh saku celana saya, celana pendek kusam, dekil, putih... asalnya warnanya putih tapi sekarang... hitam jijik, saya mengeluarkan pendapatan saya hari ini, cuma beberapa keping logam saja, saya hitung hanya ada 700 perak, anjing saya pikir, padahal setiap kali ada abang-abang preman yang suka malakin, saya selalu berhasil tunggang langgang kabur, dasar itu preman-preman sialan, bocah seperti saya doyan sekali dipalakin, saya mau makan apa setan, tapi kata-kata itu cukup ada di hati saya saja, kalau kata-kata itu keluar di depan muka preman-preman sialan itu, habislah saya dihajarnya, pelipis saya yang sobek pun belum sembuh total hasil dari tempo hari saya dipukuli preman-preman itu.

Padahal saya sudah mengamen lebih rajin dari anak-anak sekolahan, saya sudah siap sedia dari jam 6 pagi, tapi kenapa saya hanya dapat uang 700 perak, hampir 6 jam saya berada di jalanan ini, tapi belum cukup menghasilkan, sepertinya enak seperti bapak-bapak yang tempo hari saya lihat di televisi, di sebuah gedung yang besar dengan patung garuda yang besar, kerjaan mereka hanya tidur, tapi kata bang Sholeh yang punya kios rokok di seberang, gaji mereka itu puluhan juta tiap bulannya, apalagi kata bang Sholeh, mereka dapat mobil segala dan rumah juga... gratis kata bang Sholeh dengan penuh amarah, enak sekali kata saya, memangnya kerjaanya mereka apa sih bang, saya bertanya ke bang Sholeh, kerjaannya mereka katanya sih mikirin permasalahan rakyat, mereka itu kan wakil-wakil rakyat, tampat menampung inspirasi-inspirasi rakyat, begitu bang Sholeh menuturkan, lalu saya bertanya lagi ke bang Sholeh, inspirasi itu apa bang?, inspirasi... ya inspirasi lah, iya apa bang?, apa ya... pokoknya begitulah jang, maneh loba nanya pisan, kayak yang ngerti sajalah, ah dasar. Penjelasan bang Sholeh masih menjadi pertanyaan buat saya, bukan tentang soal inspirasi sialan itu, tapi tentang pekerjaan bapak-bapak itu, pekerjaan macam apa yang kerjaannya tidur tapi dapat duit puluhan juta, beda sekali dengan saya, kerja lebih dari 12 jam tapi palingan cuma dapat 5000 perak, itupun kalau lagi beruntung. Anjing.

*sebuah sequence dari film pendek saya yang tidak jadi-jadi, brengsek.

Senin, 08 Februari 2010

Living In A Box 1x1 Metre

Some friends asked me. "Hey, how about your life, how is it feel like?"

Then I said. "You know what, it's really hard being a half breed human, it felt like shit you know!"

He asked again. "What do you means with half-breed, and what's like shit?"

And then I replied. "You know. Everything that you do - I mean - I do, not so stupid but not so smart either!" --- "I really hate being like this shit you know, I just don't feel like 'full', you know what I'm saying?"

He asked again, one more. "Dude, I still don't get it, what is it feels like?"

And I answers it, with flaring up. "Okay, let me explains 'bout it. Just like you attracted to plays guitar, but how long it takes you learns 'bout guitar, you can't be a master guitar. When you learn about photography, you just 'can' about it, but you're not an expert. When you try to write a short-story-or bigger like novel maybe, you just can write it, that's all. And you think you're works is suck, and so do people! Do you get it rite know?"

Friends. "Uhhh, okay I get it - a lil' bit honestly!"

Me. "My goshh, with who I was talking to, a donkey? C'mon!"

And then he open his mouth---again. "Hey, it's me man, you was talking with me. There's no donkey around here---rite? (looks around!)."

Me again. "Keep your mouth shut bitch, or I'll kick your back- to the zoo!"


Okay, terus judul di atas artinya apa? box 1x1 meter? here it goes!
Menurut kalian setengah pintar dan setengah idiot itu ada apa gak sih, apakah kalian merasa sama seperti itu barangkali?
Judul diatas of course it's phrase, but I'm living in it - it's phrase too of course. Jadi kamu memang hidup tapi daerah cakupan kamu itu tidak lebih dari sebuah kotak dengan panjang 1x1 meter.
Saya sangat membenci dengan hal itu yang ada di diri saya sendiri, saya tidak pernah bisa - artian bisa yang ahli - dalam segala suatu hal, It's feels like unfull, ya, memang seperti itu, kamu melakukan suatu hal yang kamu anggap menarik, and you get into it, tapi setelah beberapa lama kemampuan kamu tentang hal yang kamu pelajari itu tidak bertambah-tambah, tidak ada kemajuan, kamu hanya bisa saja, bisa tho kalau kata orang jawa, tidak lebih.

Itu sangat sangat terjadi di diri saya, saya melakukan cukup banyak hal menurut saya, saya beri contoh dari mulai mempelajari tentang komputer baik hardware atau software ataupun jaringan, menjadi seorang atlet bola basket, terus tentang gitar dan mencoba untuk menulis lagu, terus bermain keyboard, kemudian tentang perfilman dan mencoba untuk menjadi script-writer dan sutradara, yang terakhir bergelut dengan kata-kata alias menulis. Semua-semua itu tidak ada yang expert, tidak ada yang bisa dibilang 'jago', menyedihkan kalau saya rasa, dan sangat memuakkan sekali. Padahal you've got all times in the world dan lagi kamu merasa kamu sudah mengeluarkan kapasitas kamu seluruhnya, tapi tetap saja hasilnya 'nothing', it's feels like shit, isn't it?!

Ini seperti sebuah disease, sebuah penyakit bernama 'biasa' atau 'reguler', tapi kalau memang itu sebuah penyakit saya penasaran juga ingin tahu nama penyakitnya apa? keren gak ya, seperti, schizoprenia, atau obsessive-compulsive, atau voyeurism, atau apalah yang terdengar asing di telinga tapi nyaman di hati (naon lah!). Tapi apalah arti sebuah nama, yang penting kan niatnya. Sialan, siapa juga yang ingin seperti itu, pakai niat segala lagi, memangnya mau sholat.

Kalau memang ini bukan sama sekali suatu penyakit, atau hanya saya saja yang terlalu melebar-lebarkannya, lalu kesimpulannya apa? sebuah 'rarasaan' hungkul, hanya sekedar sugesti saja. Masih belum pantas untuk di diagnosa sebagai penyakit, apalagi diberi nama?
Terus apa, jadi kenapa bisa seperti ini--- (Tunggu, perasaan saya niatnya mau mendeskripsikan tulisan ini dengan nada marah-marah, kenapa nadanya jadi riang. Komedi?! Eat me lah!)
Kalau memang hanya sekedar pikiran di otak saja, bukannya penyakit seperti schizoprenia juga berawal dari otaknya juga? Yang mempengaruhi kinerja otaknya juga. Tapi---

Sudah ah--- cukup saya menyerah, mungkin saya memang tidak dilahirkan untuk menjadi dewa gitar, ataupun maestro piano seperti Mozart, ahli komputer seperti Bill Gates atau Mark Zuckenberg, ataupun penulis handal layaknya Hemmingway atau Truman Capote. Tidak. Tapi, saya ditakdirkan untuk satu hal, yaitu--- menjadi penikmat saja alias penonton, bukannya semua hasil karya itu idealnya ada pencipta lalu mendapat apresiasi dari yang tidak bisa mencipta alias orang biasa-biasa saja, ya, simbios mutualisme lah. Tapi semoga diluar sana ada juga manusia-manusia dengan 'Penyakit' sama seperti saya ini, biar saya tidak merasa bahwa hanya saya sendiri orang bodoh di dunia ini. Amin.

* ) Tambahan : yang paling benci menjadi orang dengan penyakit 'Biasa' ini adalah, kecenderungan untuk tertarik ke berbagai hal, gampang sekali terpukau akan sesuatu hal, ketika mencoba untuk dilakukan... Te Tot... hanya bisa biasa-biasa saja. Menyebalkan.

* ) Tambahan kedua : ada pepatah mengatakan. "Kejarlah ilmu sampai ke negeri China--- tapi kalau bodoh, cukup sampai ke Malaysia saja! hahaha."


* tulisan macam apa ini?!

Engkau Musuhku Malam Ini

Bantingan pintu itu jelas-jelas keras, jelas-jelas terdengar seperti suara geledek, tapi Indra acuh tidak acuh bahkan ia tidak peduli kalau saja pintu itu roboh lalu hancur berkeping-keping atau rumahnya ikut roboh sekalipun. Ia sudah sangat marah tanpa harus mempedulikan hal yang lain pikirnya, sambil terus berjalan mondar-mandir di teras rumahnya, ia terus meracau tidak jelas, mengeluarkan kata-kata yang terdengar seperti komat-kamit. Kemudian ia merogoh saku celananya, mengeluarkan sebungkus rokok dan mengambil sebatang rokok filter didalamnya lalu menaruh di sela-sela bibirnya, ia mencari-cari korek didalam celananya, merogoh-rogoh sambil terus komat-kamit tidak jelas, dia mengeluarkan sekotak korek api batangan lalu menyalakan rokok yang sudah sedari tadi berada di bibirnya.
Ia masih saja terus uring-uringan tanpa henti, dia bersandar di tembok. Rumah tua dengan gaya arsitektur art deco, masih dengan kursi-kursi dan meja kayu yang modelnya sudah tidak lagi diproduksi jaman sekarang, ia berada di sebelah kursinya itu, hembusan asap rokok langsung berbaur ditelan angin yang cukup dingin dan cukup kencang malam ini, ia terus menyedot rokok itu tanpa ampun tampak seperti orang kesetanan.

Tak lama ia mendengar pintu depan itu terbuka, suara engsel yang bercicit yang harusnya sudah ia beri oli agar tidak mengeluarkan bunyi yang menyebalkan. Muncul dibalik pintu sesosok wanita anggun, masih cantik untuk umur yang sudah kepala tiga. Ia adalah Mayang, istri dari Indra untuk sekitar 7 tahun ini, dengan suara yang sedikit bergetar Mayang lalu berkata. "Kamu jangan seperti ini mas, jangan jadi malah marah-marah, terus---"
Indra hanya terdiam, dengan mata yang menusuk bagai elang, air muka yang mendidih, ia tidak mengeluarkan suara barang sekata pun, Mayang menangkap ia tidak perlu lagi meneruskan kata-katanya, suaminya sudah sangat marah malam ini. "Kamu pikir pikiran kamu itu bisa aku anggap normal---bisa aku anggap ide yang brilian. Kamu gila, kamu pikir aku sudah cukup tidak waras." Hening sejenak, Mayang tidak langsung menanggapi perkataan suaminya. "Lalu bagaimana caranya kalau kamu pikir ide aku itu buruk mas, bagaimana...?!"

Tidak mempedulikan kata-kata istrinya, Indra mengeluarkan lagi sebatang rokok dalam saku celananya, ketika Indra menyalakan rokok, pancaran api dari korek batangannya menerangi wajahnya barang sedetik, Mayang bisa melihat raut muka Indra yang kurus, kulit yang agak terbakar matahari. Sedetik Mayang merasa sangat kasihan dengan nasib suaminya, Indra memang pekerja keras, ia memang tidak pernah lari dari tanggung jawabnya sebagai seorang suami dan seorang ayah untuk ketiga anak perempuannya yang masih kecil-kecil, sosok Indra sewaktu pertama kali Mayang bertemu dengannya memang sudah seperti ini, tapi ada perasaan yang berbeda sesudah ia menikahi atau lebih tepatnya mencintai seseorang yang bernama Indra yang sedang berdiri di depannya dengan mengeluarkan aura marah yang cukup kentara.

"Kalau kamu tidak mau dengan ide aku mas, ya tolonglah kamu sedikit kurangi keidealisan kamu itu di kantor. Coba seperti rekan-rekan kamu itu!" Indra sudah sangat sangat murka sekarang, ia seperti sedang terpanggang di bara api yang sangat panas.
"...Aku sudah bilang seribu kali ke kamu---orang-orang di kantor aku itu babi semua. Mereka itu orang-orang bodoh, yang kerjaannya tidak ada tapi menuntut untuk terus dapat bonus terus kenaikan gaji. Walaupun aku ini cuma seorang pns, aku tidak mau menjadi orang yang picik seperti itu---aku punya harga diri May..."
Dengan sigap Mayang memotong, "Terus mau kamu apa, kamu pikir dengan harga diri, kita bisa ngasih makan anak-anak kita, kita bisa bayar iuran sekolah mereka, pikir dong mas pikir---"
"Kamu pikir aku sekarang tidak sedang berpikir, aku ini tiap hari mikir May, aku---"
Mayang secepat kilat memotong kalimat suaminya. "Terus mana hasilnya, mana aku tanya, gaji kamu itu sangat pas-pasan mas---hanya bisa menghidupi sepuluh hari untuk kita berlima ini!"
Indra kembali terdiam tapi tetap raut mukanya masih murka, ia ingin sekali meledak, ia ingin sekali membenamkan kepala di dalam tanah, tanpa omongan-omongan dari istrinya pun ia sudah cukup pusing dengan segala macam pikirannya sendiri.

Indra lalu bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apa salah menjadi orang yang jujur, apa salah menjadi orang yang mendapat haknya dari hasil kerjanya sendiri, bukan uang buta, bukan uang haram, apa ia harus menjadi seperti orang-orang lain yang dengan bangganya mendapat uang bukan dari hasil kerja kerasnya, bukan dari keringatnya sendiri.
"Mas... mas, kamu kok malah ngelamun sih?" Indra tertunduk lesu, dengan pancaran mukanya yang berharap agar Mayang berhenti bicara.
"Aku sudah sangat pusing malam ini May, aku mohon besok saja kita lanjutkan obrolan ini."
Tampak Indra mulai mereda, tungkainya sudah sangat letih, sudah banyak beban mengendap disana, tapi bukannya malah mengiyakan perkataan suaminya Mayang malahan membombardir Indra dengan senapan mulutnya.
"Tidak bisa mas, kita sudah sangat kekurangan uang, tidak bisa santai-santai saja, ya sudah kamu nurut saja dengan---"
Giliran Indra yang memotong kalimat Mayang. "Cukup May... cukup. Kamu pikir dengan kamu menjual diri kamu ke mantan pacar kamu itu, bisa aku tolerir, aku bisa dengan santai hanya diam saja."
Angin sudah mulai sangat dingin, wajar, jam sudah memukul 11 malam.
"Hanya sekali mas, dia berjanji bakal memberi kita suntikan dana 20 juta, anggap saja aku hanya pergi jalan dengan dia, tidak tidur dengannya."
Mata yang asalnya sudah tidak cukup kuat untuk terbuka, dan mulut yang sudah mengatup, kini malah membuka sangat lebar.
"Harga diri kamu... kamu taruh dimana May, kamu pikir suami mana yang rela istrinya bersetubuh dengan laki-laki lain dan hanya bisa pasrah, kamu sudah tidak punya otak ya May..."
Dengan sangat murka dan setengah berteriak. "Karena aku punya otak mas, aku harus memberi makan anak-anak kita, kamu pikir dengan gaji kamu yang hanya 2 juta itu cukup buat menghidupi kita mas, menghidupi anak-anak kita."
"Aku tidak tahu May, aku cape!" Indra berkata tetapi yang terdengar seperti sebuah bisikan lirih.

Indra selalu saja luluh untuk segala omongan yang keluar dari mulut istrinya, ia sangat sangat mencintai istrinya dan sangat mencintai ketiga anaknya, suara burung hantu di kejauhan samar-samar terdengar membuat bulu kuduk terbangun, malam sudah lebih jauh jauh berlari, disaksikan bulan yang malu-malu mengintip dari balik awan, dan suara-suara angin yang bergesekan dengan pepohonan.
Indra hanya bisa menangis di obrolan malam yang cukup kelam ini, ia sudah tidak sanggup untuk berkata apapun lagi, ia terjatuh lesu di atas kedua lututnya, mengutuk kehidupan yang sangat sangat tidak adil untuknya, untuk keluarganya.

*Cimahi, 27 Januari 2009

Senin, 14 Desember 2009

Aww...Friend...Friend


"Is there anybody going to listen to my story all about friends who came to stay?
They're the kind of friend you want so much, it makes you all sorry.
Still, you don't regret a single day."

Sabtu, 12 Desember 2009

Sudahkah Kau Menonton Film Hari Ini ?!


FILM
atau gambar hidup atau gambar bergerak atau apapun kau menyebutnya sesuka hatimu, adalah sebuah karya seni yang sudah begitu melekat di segi-segi kehidupan manusia jaman sekarang bahkan untuk jaman dahulu, sebuah seni yang sudah menjadi komoditi perseorangan atau kelompok untuk memenuhi hasratnya.
Film yang belakangan ini menjadi kegemaran, menjadi nilai prestigious supaya bisa dibilang tidak ketinggalan jaman (tapi menurut saya jaman yang seperti apa dulu..?!), kegiatan menonton film yang mengisi waktu kalian bersama teman-teman dekat kalian, atau kekasih kalian, adalah sebuah genre dari seni yang patut kalian sangat hargai, dan apakah kalian tahu asal mula dari si gambar bergerak ini?!
Saya akan membuka sekilas tentang sejarah perfilman, tentang siapa penemu, siapa orang yang pertama kali membuat film, dan kemudian saya akan mengkilas balik tentang sejarah perfilman di Indonesia...selamat menikmati, dan maaf kalau terlalu panjang walaupun sebenarnya masih terlalu pendek untuk menceritakan tentang film. Salute.

Chapter One

Film adalah sebuah karya dari manusia yang sangat fenomenal yang berkembang menjadi sebuah trend, sebuah kebutuhan, film sekarang bukan hanya sekedar tontonan belaka, sebuah karya peninggalan dari abad 20 walaupun di abad 19 sudah mulai ditemukan, sang bersaudara Lumiere lah yang pertama kali menghebohkan dunia dengan karya seni gambar bergerak, ide ini muncul dengan meminjam hasil teknologi dari sang jenius dunia bernama Thomas Alva Edison atau kita lebih mengenal sebagai Bapak Penerangan karena beliau adalah orang yang menemukan teknologi bola lampu dan ia pula lah yang bertanggung jawab piringan hitam ada di muka bumi ini, awal mulanya om Thomas pada tahun 1887 merancang sebuah alat guna merekam dan membuat gambar, ide membuat alat itu didasari oleh hasil penemuan terdahulu yaitu fonograf, kalau fonograf berfungsi untuk merekam suara dan om Thomas berpikir kenapa tidak membuat alat untuk merekam gambar dan bergerak, lalu ia berhasil membuat alat untuk merekam gambar bergerak tersebut dan dinamakan Kinetoskop, tetapi ada kendala, om Thomas belum menemukan bahan dasar untuk merekam gambar bergeraknya tersebut, lalu datanglah om George Eastman menawarkan idenya, beliau menganjurkan agar om Thomas memakai bahan serupa plastik tembus pandang yang cukup ulet dan mudah untuk digulung, bahan itu dikenal dengan sebutan Siluloid, dan jadilah sebuah alat canggih pada jaman itu untuk merekam gambar bergerak.

Kinetoskop bentuknya mirip dengan sebuah kotak, mempunyai lubang untuk mengintip hasil rekaman gambar bergerak tersebut, dan pada tahun 1894 om Thomas mulai mempublikasikan dan mempertontonkan teknologi hasil buatannya pada orang-orang, pertama kali ia memulai pertunjukkannya di studio miliknya di kota New York yang bernama Black Maria, kenapa namanya Black Maria dikarenakan sekonyong-konyongnya seluruh studio itu didominasi warna hitam bahkan seluruhnya berwana hitam. Pertunjukan pertama kali di dunia malalui alat Kinetoskop itu adalah potongan-potongan pertandingan tinju, segeralah setelah itu warga dunia geger dengan penemuan hasil om Thomas dan kawan-kawan tersebut, dan sampai pada kedua mata milik kakak beradik August dan Louis Lumiere yang berkebangsaan Perancis, asal dari cheese (no, i'm kidding!).

Berawal dari hasil penemuan om Thomas itu, bersaudara Lumiere mulai berimajinasi untuk membuat sebuah film, bukan hanya sebuah potongan-potongan yang om Thomas lakukan, lalu Lumiere bersaudara mulai mengoprek-oprek alat Kinetoskop yang sudah om Thomas temukan, mereka kemudian merancang ulang dan mengkombinasikan Kinetoskop dengan alat serupa proyektor yang dikemudian diberi ngaran Sinematograf. Alat Sinematograf ini mengalami perubahan berkali-kali karena Lumiere bersaudara ingin alat itu lebih kecil (portable), menghasilkan kualitas gambar yang bagus, dan tidak rumit seperti yang om Thomas buat, tapi saya tidak akan cape-cape menjabarkan bagaimana mekanisme alat ini bergerak dan menghasilkan suatu film, dijamin pusing dah, I bet you!

Tetapi film-film karya Lumiere bersaudara ini berkisar tentang kejadian atau aktifitas orang sehari-hari, lalu muncullah om George Milies, om George adalah seorang pemilik pertunjukkan sulap dan om George adalah salah satu orang yang kerap menonton film milik Lumiere bersaudara, lalu intuisinya sebagai seorang penghibur kemudian ia mempunyai ide membuat film yang imajiner sehingga lahirlah film Trip To The Moon pada tahun 1902 dan berhasil menggemparkan dunia pertunjukkan seantero jagad, dan film Trip To The Moon adalah film fiksi pertama di dunia, lalu om George dijuluki Bapak Film Cerita oleh dunia.

That's it, sedikit dari sejarah awal lahirnya film ke dunia, semoga kalian tidak hanya menjadi penonton belaka yang belum apa-apa sudah mengclaim dirinya "saya penggemar film" tanpa tahu sejarah dari sebuah film tersebut. Sekarang film telah mempunyai seribu bentuk, berbagai genre film telah bermunculan, berjuta-juta pekerja film telah bermunculan, dan orang-orang berbondong-bondong beralih profesi menjadi insan film, bagus sekali itu.
Tapi memang dasarnya manusia, ada film yang sangat-sangat bagus dan ada pula film yang sangat-sangat butut, ulah dari beberapa pekerja film yang semata-mata hanya ingin mengeruk lembaran-lembaran duit saja, tanpa mempedulikan aspek dari film itu sendiri, berkualitas atau tidak, edukatif atau tidak, mempunyai pesan moral atau tidak, tampaknya film sudah ternodai oleh ulah bangsat-bangsat tidak bertanggung jawab itu, tapi mari kita tinggalkan para bedebah itu.
Okay sekarang kita lompat ke perfilman nasional alias perfilman Indonesia, go...

Chapter Two

Film pertama kali muncul di Indonesia adalah pada tahun 1900 an yang dibawa oleh para penjajah jahanam dari Belanda, film yang diputar pun film hasil produksi Amerika, film yang paling menggemparkan di Indonesia pada awal abad 20 an adalah film The Great Train Robbery pada tahun 1903. Lalu film pertama kali di produksi di Indonesia pada tahun 1926, film tersebut berjudul Loetoeng Kasaroeng milik production house Java Film Co. pemiliknya adalah orang belanda dan ia berperan menjadi produser sekaligus sutradara dari film Loetoeng Kasaroeng tersebut, animo masyarakat cukup lumayan banyak (yaiyalah lumayan, warga lokal kalau tidak nonton bakal disiksa.haha). Setelah Loetoeng Kasaroeng muncul film Eulis Atjih tahun 1927, disini para pengusaha Tionghoa menjadi produsernya, kemudian banyak bermunculan rumah-rumah produksi dan kebanyakan dibuat oleh para bangsa kulit kuning a.k.a Tionghoa, dan mereka mengimpor pula film-film dari negeri China yang cukup tersohor di Indonesia , tetapi tidak lama juga setelah datang para penjajah lainnya dari negeri Matahari Terbit alias Jepang, penjajah Jepang itu menjadikan media film sebagai alat propagandanya, dan mereka hanya memproduksi 3 judul film lalu Indonesia merdeka deh, hush hush Jepang, take your ass away from here.hehe.

Film milik asli bangsa Indonesia sendiri diproduksi pada tahun 1949 yaitu berjudul Air Mata Mengalir di Tjitarum dan Bengawan Solo, pada tahun yang sama Usmar Ismail membuat film Tjitra yang kelak dipatenkan menjadi nama piala di ajang Festival Film Indonesia, tetapi campur tangan pihak produser yang (masih) notebene warga Tionghoa cukup besar, bang Usmar Ismail tidak mengakui film Tjitra adalah hasil murni karya beliau, baru pada tahun 1950 lah ia menelurkan film Darah dan Doa sebagai karyanya seratus persen, bahkan pada 11 oktober 1962, dewan film Indonesia menetapkan hari shooting pertama film Darah dan Doa adalah Hari Film Nasional, dan Usmar Ismail sebagai Bapak Perfilman Nasional berbagi jabatan dengan Djamaluddin Malik, sang ayah dari Camelia Malik dan ayah tiri dari Ahmad Albar.
Kemudian Usmar Ismail mendirikan Perfini (Persatuan Film Nasional Indonesia) yang menghasilkan film-film berkualitas, lewat hasil tangan dinginnya lahirlah bintang-bintang Indonesia kenamaan, seperti, Bambang Irawan (ayah Ria Irawan), Mieke Widjaya (ibu Nia Zulkarnean), Rachmat Hidayat, Suzanna, sampai Lenny Marlina, sedangkan Djamaluddin Malik membuat Persari (Persatuan Film Dalam Negeri.mungkin!haha) membuat film berwarna selain hitam-putih pertama kali di Indonesia bekerja sama dengan rumah produksi dari Filipina, yaitu Rodrigo de Villa dan Holiday in Bali, untuk Holiday in Bali diperankan aktor Filipina Joseph Estrada yang kelak menjadi Presiden Filipina.

Perfilman dalam negeri mempunyai saingan-saingan yang cukup berat, seperti film-film Malaysia yang cukup digemari (kok bisa yah?!), dan dari negeri lebay nan bombay, India, dan tentunya saingan paling berat yang tidak ada tandingannya Amerika Serikat, namun semua terhenti ketika Presiden Soekarno memboikot film-film dan musik-musik dari luar dengan slogannya yang cukup terkenal "Inggris kita linggis, Amerika kita setrika", film-film luar tidak ada yang masuk bahkan piringan hitam The Beatles pun dibakar oleh Bung Karno (Beatles kan bagus bung Karno, gimana sih?!) dan Koes bersaudara alias grup musik Koes Plus dijebloskan ke penjara Glodok tanpa alasan, tapi bung Karno memperbolehkan film-film karya produksi Uni Soviet dan Eropa Timur yang notabene menganut paham komunis merajalela di perfilman dalam negeri, tapi toh film-film itu tidak sukses dari segi apapun di Indonesia, perfilman karya anak bangsa sendiri mati suri pada jaman itu.

Kemudian muncul film-film dari Hong Kong dan dari Italia, sejak itu film-film Indonesia kembali bangkit berkat film bergenre drama seks yaitu Bernafas Dalam Lumpur pada tahun 1970 yang diperankan oleh siapa lagi kalau bukan tante Suzanna (hore!), bersama Rachmat Kartolo, dan Farrouk Affero, setelah itu bermunculan film-film bergenre sama yaitu drama seks, dikarenakan untuk para sineas luar negeri bila mereka ingin mengimpor film-filmnya ke Indonesia mereka diwajibkan untuk membuat film lokal dahulu, maka menurut mereka genre apalagi yang mudah dibuat, biayanya murah, serta dijamin sukses adalah film bergenre seks atau drama seks, tapi jangan senang dulu hey para maniak seks, tapi pada tahun 1970 an Indonesia mencatat lima nama sineas-sineas yang sangat berkualitas seperti, Teguh Karya, Sjuman Djaya (ayah Titi Sjuman), Wim Umboh, Arifin C. Noer (suami Jajang C. Noer), dan Nya Abbas Akup.

Masing-masing sutradara melahirkan nama-nama aktor dan aktris terkenal, Teguh Karya membawa Slamet Rahardjo, Christine Hakim, Alex Komang (untuk nama yang terakhir, film terakhirnya butut banget !), lalu Sjuman Djaya dengan Deddy Sutomo, Benyamin S., Rano Karno, Roy Marten, Yenny Rahman, lalu Wim Umboh membawa Sophan Shopian, Widyawati, Cok Simbara, sampai Meriam Bellina, Lalu Arifin C. Noer membawa Joice Erna, Marrisa Haque, dan tentunya sang istri Jajang C. Noer, dan terakhir Nya Abbas Akup mengorbitkan Titiek Puspa, Ray Sahetapy, Dewi Yull, Doris Callebaute, dan (favorit saya!) Didi Petet.

Berbagai genre film di Indonesia pun mulai beragam tak hanya dari Drama saja, ada pula Komedi yang diawali oleh Bing Slamet (dengan Kwartet Jaya nya Eddy Sud, Ateng, Iskak), Lalu muncul S. Bagyo (bersama S. Diran, Darto Helm, Sol Soleh), Lalu Jojon dengan Jayakarta Group (Tjahyono, Joni, Uuk), Lalu Benyamin S. (berduet dengan Ida Royani, Eddy Gombloh, Mansyur Syah), dan yang terakhir yang filmnya paling sering diputar sampai sekarang Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro, Nanu). Dari genre Horor Mistik pastinya tante Suzanna, Genre Action Barry Prima, Advent Bangun, dan George Rudy, dan untuk genre Musikal, dari Dangdut siapa lagi kalau bukan bang haji Rhoma Irama (juuudi...tet.), untuk genre musik rock atau jazz anehnya kurang mendapat sambutan bahkan sampai hari ini. Tetapi sekali lagi film Indonesia mengalami keterpurukan dan tidur panjang pada tahun 1990, karena bioskop dipenuhi film-film tidak bermutu dan bararutut yang bergenre seks, barulah pada tahun 1999, seorang wanita, istri dari aktor Mathias Muchus yaitu Mira Lesmana menyuntikkan angin segar pada perfilman Indonesia lewat Petualangan Sherina, dan Ada Apa Dengan Cinta ? pada tahun 2001 yang mempelopori genre Drama Remaja kala itu.

Kalau di Hollywood punya piala Oscar lewat Academy Award nya, di Indonesia lahir Festival Film Indonesia (FFI) yang diadakan pertama kali pada tanggal 5 April 1955 di Jakarta, tetapi terhenti diselanggarakan pada tahun 1992 karena film yang beredar di Indonesia saat itu dianggap tidak layak untuk diapresiasi, lalu kembali diadakan pada tahun 2004 sampai sekarang, tapi ada catatan khusus pada pagelaran FFI tahun 2006, dikarenakan film (butut pisan) Ekskul meraih film terbaik pada saat itu, seluruh insan film yang mendapat Piala Citra pada malam itu berbondong-bondong mengembalikan Piala Citra, karena menurut mereka film Ekskul tidak memenuhi kriteria film terbaik (betul banget), plus scoring nya yang menjiplak dari film-film Amerika

Sekarang telah bermunculan sineas-sineas abad 21 di Indonesia yang cukup berkualitas seperti, Mira Lesmana (seringnya sebagai produser), Riri Reza, Nan Achnas, Rizal Mantovani (butut orang ini mah butut, sumpah!), Dimas Djayadiningrat, Nia Dinata (kadang berperan sebagai produser), Sekar Ayu (Biola Tak Berdawai), Djoko Anwar (Janji Joni, Pintu Terlarang), Rudi Soejarwo (Ada Apa Dengan Cinta?, Kambing Jantan), Hanung Bramantyo (Jomblo), Hanny R. Saputra, Teddy Soeriaatmadja, Rako Prijanto, Upi Avianto (Serigala Terakhir), selain dari para sineas-sineas yang terbilang cukup muda di atas, ada pula beberapa nama yang cukup malah sangat berkualitas seperti, Garin Nugroho lewat film Cinta dalam Sepotong Roti pada tahun 1990 namanya langsung melambung sebagai sutradara berkualitas yang Indonesia miliki, ia pun sempat menjadi juri di ajang festival film internasional di Venesia akhir-akhir ini, lalu ada nama Deddy Mizwar lewat Ketika, Kiamat Sudah Dekat, Nagabonar Jadi 2.

Dibalik sutradara pun jabatan yang cukup punya andil besar seperti Director of Photography (DOP), Script Writer, Editor, Music Director jangan pernah kalian lupakan, karena sebuah film tidak akan pernah ada bila tidak ada campur tangan dari mereka-mereka itu. Diantara sutradara-sutradara yang telah saya sebutkan namanya diatas, ada pula beberapa nama yang cukup produktif membuat film, tapi karena kebanyakan film mereka sangat tidak berkualitas, kalian cari saja namanya sendiri (biasa anak buah para Bombayers). Pada dua nama diatas masing-masing mempunyai Prodution House nya masing-masing seperti Mira Lesmana dengan Miles, Nia Dinata dengan Kalyana Shira Film, dan ada total sekitar 15 rumah produksi lagi dan mungkin sekarang bertambah tapi didominasi para produser dari negara bombay keparat itu yang lebih banyak daripada rumah produksi yang berkualitas, kembali lagi mereka ingin menciptakan pangsa penonton yang hanya menonton saja dan tidak memberikan sisi edukatif, pesan moral. Setelah keluar dari bioskop atau menonton dvd dirumah, sudah saja tidak ada kesan, tidak ada yang bisa didapat dan dibahas. What a great movie...for dummies !

Chapter Three

Film Indonesia sekarang diwarnai lebih banyak oleh film-film butut yang bergenre itu-itu saja, contohnya Horror, setelah film Jelangkung yang meraih sambutan luar biasa dari para penonton Indonesia, rumah-rumah produksi terutama rumah produksi dinasti negeri bombay berlomba-lomba memproduksi film bergenre serupa, mereka secara massive memproduksi film-film Horror, kembali lagi dengan ide cerita yang butut, sinematograpy yang butut juga, mereka seolah-seolah menanamkan bom bodoh pada para penonton Indonesia, dan memang dasar bodohnya orang-orang Indonesia (para alayism khususnya), mereka pun dengan wajah sumringahnya mengantri di bioskop hanya untuk sensasi tegang saja, kalian tidak sadar bahwa dengan membeli karcis atau membeli DVD (even bajakan), kalian malah membuat para produser-produser goblok itu mempunyai alasan kenapa mereka masih memproduksi film-film bergenre tersebut, lalu fenomenal genre Drama Seks Komedi Remaja yang menjadi momok mengerikan buat saya, sekali lagi para penonton-penonton tolol lah yang menonton film-film bergenre tersebut, kebanjiran duitlah para rumah produksi keparat itu, aduh mindset para penonton di Indonesia ini harus dirubah sebelum Indonesia kembali terpuruk dan tertidur lagi dikarenakan pihak-pihak yang sekali lagi hanya ingin mengeruk keuntungan belaka saja di Indonesia tanpa memikirkan akibatnya.

Mungkin kalian tidak sadar kalian itu sedang dibodohi secara intensif oleh rumah-rumah produksi keparat itu, kalian harus disadarkan dengan tontonan film yang berkualitas, kalian jangan hanya mencari hiburan doang, itu membuat otak kalian bodoh. Kalian harus lebih selektif memilih film untuk kalian tonton, toh ada banyak judul film Indonesia yang layak untuk ditonton, walaupun mungkin dari segi hiburannya lebih sedikit, tapi toh membuat kalian pintar, mungkin kalian tidak peduli dengan nasib perfilman Indonesia, apalagi untuk para sineas-sineas berbakat dan berkualitas yang sudah ada sekarang di Indonesia, setidaknya tunjukkan empati kalian dengan tidak menonton film-film tai kucing itu, kalian pun tahu mungkin film yang tai kucing itu seperti apa, apakah kalian tidak ingin Indonesia dianggap sebagai negara yang memproduksi film-film berkualitas, bermutu, dan baru, jangan cuma genre Seks remaja atau Horror atau lebih parahnya digabungkan (Tidak....!!!), kalau horror nya berkualitas sih no problemo tapi pastilah produksi orang-orang ahe-ahe itu mah butut-butut semua.

Kembali pada pokok awal bahasan diatas, karena film sudah menjadi sebuah komoditi, perkembangan dari film itu sendiri pun kurang terlalu diperhatikan, khususnya untuk kaum Indonesia. Film-film yang sebenarnya bernilai tinggi tapi dikarenakan promosinya kurang, tidak mempunyai aktor terkenal, tidak mempunyai efek canggih, lantas kemudian film yang bermutu malah menjadi terbengkalai, tidak dilirik sedikitpun.
Mari kita ciptakan bangsa penonton yang baik, yang selektif dengan film tontonannya, maka dari itu berpikir pintarlah sedikit, kurangi menonton film yang tidak bermutu, yang hanya mengandalkan efek saja, seks saja, setan-setan norak dengan make-up menor, mari menjadi penonton film berkualitas dari orang-orang yang berkualitas, dan mari menjadi tuan rumah di negara kita sendiri, dan mari menjadikan bangsa Indonesia sebagai pengimpor film-film bermutu untuk esok hari.
Mari kita budayakan menonton film!!! Go Films and Go Indonesian Films...


Salam Film,
Yanuar Kapriradela
Cimahi, Desember 04 '09


*maaf bila ada salah informasi, salah lokasi, salah nama, tidak bermaksud dan terima kasih untuk beberapa majalah yang saya sadur informasinya. salute...

Senin, 30 November 2009

Seorang Pria dan Sebuah Kursi Goyang

Dingin...
dingin sekali, tulang-tulangku seakan beku menggigil, gigiku bergemertak tak teratur mengeluarkan suara seperti kursi kayu tua yang dihentak-hentakkan dengan cepat, degup jantung seperti yang tak bernyawa. senyap. Malam ini adalah malam ketujuh langit menghujani bumi seperti bom tiada henti, tidak pernah berhenti hanya melamban tapi tetap basah.
Gulma-gulma sudah mulai meliar keluar dari dalam ranah. Merimbun.
Jalanan yang lembab serta meluber dan warna hijau di pinggiran. Melumut.
Angin dingin yang berhembus seperti menyembunyikan pasukan berpedang tidak nampak menusuk-nusuk daging. Sudah cukup lama bulan tidak menampakkan batang hidungnya di muka langit, yang biasanya memperlihatkan seorang nenek yang sedang menyulam atau sang kelinci pengelana, sama halnya dengan para bintang yang biasanya genit, berkedap-kedip. Tidak ada. Lama awan kelabu kehitaman itu mengatapi
rumah bumi ini, bayangannya membuat samar antara siang menjadi malam, dan malam menjadi sangat malam. Gelap. Ditambah rintik-rintik hujan seperti ini, keadaan menjadi semakin mencekam.

Uap dari secangkir teh panas itu meliuk-liuk di udara malam ini, melayang-layang hingga akhirnya lenyap berbaur dengan udara, tersudut di sebelah saya, sebuah meja kecil yang diatasnya tergolek satu piring kue, satu vas yang hanya ada satu bunga, bunga mawar putih, dan secangkir teh panas yang entah berapa lama lagi menjadi panas.
Saya duduk di atas kursi goyang tua yang tersematkan sebuah bantal sebagai alas, saya senang mendapati diri saya berada di depan rumah, di teras ini, bagian dari rumah ini lah tempat kesenangan saya untuk sekedar membunuh waktu. Saya berpikir kenapa hujan terus menetes tanpa henti, aneh saya pikir, tapi mungkin ini hanya fenomena alam biasa. Lagipula apa yang bisa saya kerjakan di usia senja saya seperti sekarang, usia yang sudah bertanduk 7, tubuh yang sudah reot, panca indera yang sudah menuli, membuta, saya kira inilah kegiatan utama saya sekarang, duduk di kursi goyang tua, sambil hanya memandangi pemandangan dan banyak melamun.

Kekasih saya sekaligus istri saya sudah terlebih dahulu meninggalkan saya di dunia ini, belahan jiwa saya, cinta sejati saya, dia adalah wanita paling tepat dan paling hebat yang saya pilih untuk menjadi pendamping saya di kehidupan yang singkat ini, betapapun saya tidak ditinggal sendiri di dunia indah ini, saya tinggal bersama anak perempuan saya, anak terakhir dari ketiga anak perempuan saya, ia bernama Malina, Malina Rarasati, dia adalah anak yang cantik, ia sudah menikah, ia dinikahi oleh seorang pria yang baik, sangat baik justru, penyayang, dan sangat bertanggung jawab, saya tidak peduli apa profesinya, saya bukan manusia sedangkal itu, tapi pastinya pekerjaanya halal dan mampu menghidupi anak perempuan saya dan kedua cucu kembar saya yang lucu, saya bahagia bersama dengan keluarga anak saya ini, saya merasa terus hangat, saya senang Malina memilih pria sempurna dalam hidupnya.

Ketika akhir pekan kadang-kadang anak perempuan saya yang nomor satu yang tinggal di Jakarta datang menengokku, dia bernama Maharani Rarasati, ia berkunjung bersama suami dan anak-anaknya, tapi anak perempuan saya yang nomor dua jarang mengunjungi saya di Bandung, karena ia ikut bersama suaminya yang berkewarnegaraan Inggris, dan dia bernama Mayasita, Rarasati nama belakangnya pastinya, saya rindu dengan dia, kami terpisah jarak ruang dan waktu, tapi kadangkala dia menelepon dari sana hanya untuk menanyakan kabar, saya, Malina keluarga, Maharani keluarga, atau kadang-kadang ia bercerita tentang perasaannya, semua anak saya memang terbiasa berbagi isi hatinya dengan saya dan mendiang istri saya, sekarang hanya bisa kepada saya, tak ada batas usia, saya nyaman bisa menjadi pendengar dan motivator bagi ketiga anak saya.

Saya sangat merindukan seluruh keluarga saya berkumpul, terutama istri saya, kami adalah keluarga paling bahagia di muka bumi ini, keluarga paling bahagia yang pernah diciptakan tuhan, saya rasa. Saya menikmati ketika pikiran ini menerawang jauh ke masa lampau, terutama ketika saya seperti sekarang, hanya duduk di kursi butut ini sambil melihat jalanan tepat seberang halaman rumah anak saya, tapi hujan yang sudah berlangsung 7 hari ini seperti membawa kesan aneh, bahkan mungkin seperti hendak menyampaikan suatu pesan, pesan yang aneh pastinya, selama 7 hari dan tepatnya pada malam hari, keadaan menjadi sedikit berbeda lewat kacamata saya, entahlah bagaimana, tapi nalar saya mengatakan ini berbeda.

Selama 7 hari ini dengan hujan terus mengguyur, saya disajikan pemandangan yang aneh, seperti, saya melihat kucing berseliweran, saya tahu apa anehnya dengan kucing, tapi, mereka semuanya berwarna hitam, hitam kelam, dan mereka mengeluarkan suara miaw yang miris, seperti orang kesakitan. Lalu beberapa malam yang lalu, saya melihat banyak orang-orang yang mengenakan baju putih, seperti bukan baju, tapi seperti daster dengan ikatan di beberapa tempat di tubuh mereka, dan yang paling aneh menurut saya adalah cara berjalan, cara berjalan mereka melompat-lompat pelan, seperti merasakan panas bila bersentuhan dengan tanah, bertanya-tanya saya jadinya. Dan setelahnya seringkali dibelakang para manusia yang berbaju putih itu, mengikuti beberapa orang lagi yang berbeda, mereka tinggi besar, saya tahu itu karena mereka hampir setinggi gerbang rumah anak saya yang lebih dari 2 meter, dan mereka berbaju dan berkerudung hitam, rasa penasaran membius kepala, tapi toh saya tidak beranjak dari kursi ini.

Ketika baru saja saya melihat salah satu orang yang berbaju putih itu dipecut berulang-ulang oleh orang yang berbaju hitam, niatnya saya hendak mengahampiri, tapi tiba-tiba pintu depan terbuka, dan keluarlah anak perempuan saya, Malina, tapi ia tidak melirikku, kemudian ia duduk di tangga teras, ia hanya terdiam, dan ketika saya hendak mau menghampirinya, pintu depan itu kembali terbuka, kali ini suami anak saya, kemudian ia duduk disamping Malina, dan ia pun tidak menghardik aku yang duduk di kursi goyang ini, kenapa saya pikir, apakah mereka memang benar-benar tidak melihat saya, lalu keluar kalimat dari Malina yang memecah kesunyian, ia berkata,

" Bapak pasti menyukai sekali malam ini, langit sangat cerah, serangga-serangga bersenandung dimana-mana, damai sekali." Malina tersenyum pada langit, lalu melihat ke suaminya.

aneh....?!, saya pikir.

" iya, ayah juga yakin bapak pasti sangat menyukainya, terutama malam ini, malam ini memang cerah sekali, ditambah dengan benderang cahaya bulan purnama, memang tenang sekali."

hah...?! cahaya bulan purnama...?! saya berkata dalam hati.
ketika saya baru saja mau bersuara, Malina kembali berkata,


" saya kangen sekali dengan bapak, sama ibu juga!", terlihat jelas oleh saya air mengalir dari sela matanya, lalu suami Malina memeluknya dan mencium kepalanya.

" saya tahu sayang, tapi kamu ngga boleh seperti ini, kamu harus ikhlas, bapak pasti sudah senang di alam sana, mungkin beliau sudah ketemu dengan ibu, sekarang kan sudah hari ketujuh semenjak bapak pergi meninggalkan kita!"

kata-kata itu...kata-kata itu tepat berakhirnya dengan gemuruh suara guntur yang membelah langit dan membelah hati saya, saya tidak percaya, jadi sudah tujuh hari saya meninggal dunia, tapi kenapa...kenapa?!, saya sedih sangat sedih, tapi aneh tidak menetes air mata dari kelopak mata saya?

" kita duduk di kursi ya sayang, kamu duduk di kursi goyang kesukaan bapak, yah!!!"

" ayah sudah membuat teh panas sebelumnya, makan juga kue nya ya sayang, biar hati kamu tenang, biar bapak juga tenang di sana!"

Malina pun menuruti apa yang dikatakan suaminya, ketika Malina hampir saya duduk di pangkuan saya, dia dengan mulusnya duduk kursi goyang saya ini, dia menembus tubuh saya, dan saya kemudian berdiri, saya baru sadar bahwa saya ini roh, roh yang melayang-layang selama 7 hari ini, dengan alam yang sama tetapi berbeda suasana dan penglihatan.

Yanuar Kapriradela
Cimahi, 14 November 2009