Sabtu, 10 Juli 2010

We All Are Animals

Kerusuhan terus terjadi dimana-mana, aparat melawan rakyat biasa alias sipil, aparat melawan aparat, aparat melawan pedagang kaki lima, saling baku hantam, saling hina, saling ejek, bahkan saling bunuh. Sebuah perbuatan yang menjadi tontonan tidak asing di negara ini, sebuah tayangan yang selalu digencarkan oleh setiap stasiun televisi baik lokal maupun swasta, ada apa ini?
Disfungsi sosial terjadi marak dimana-mana, pelacuran diberantas oleh salah satu lembaga aparat negara ini yang katanya selalu rajin digalakan , narkoba yang selalu meracuni kelangsungan hidup generasi muda yang sedang berkembang, korupsi semakin marak dan malah menjadi tren hidup di kalangan para petinggi negara, ada apa ini?
Sebuah fenomena sosial yang pasti terjadi di setiap negara di belahan bumi bagian manapun, gesekan sosial antar satu dengan yang lainnya, kepentingan pribadi yang selalu dijunjung tinggi diatas kepentingan bersama, sekali lagi... Ada apa ini?

***

Perilaku-perilaku manusia yang mengacu pada sebuah karakter-karakter yang bukan manusia, unhumanism. Tergolong rumit bila manusia mempunyai perilaku seperti itu, terlalu malas pula buat dicerna, masa bodoh. Mungkin Konteks tentang kenegaraan, sosiologi seperti itu terlalu jauh untuk menjadi bahan pemikiran kita, tapi tidak saya, maaf.
Tentang kelangsungan hidup beberapa orang yang ada disekitar kita, kalau itu yang paling gampang untuk dibawa masuk kedalam pikiran, atau tentang diri kita sendiri barangkali, itu jauh lebih ternalari oleh pikiran kita, karena kita hidup dalam tubuh kita sendiri, bukan tubuh orang lain. Apa yang terbesit ketika suatu keadaan diri kita atau orang lain yang dekat dengan kita, tidak seperti perilaku orang kebanyakan, ada suatu hal yang ganjil yang terjadi dan berlangsung di diri kita atau orang lain yang tidak tergolong seperti sifat manusia?
Apakah kita akan menjawab, ada kalanya suatu sifat seperti itu terjadi di diri kita dan orang lain, atau itu memang bagian dari sifat manusia yang mungkin belum teridentifikasi dengan nama?
Entahlah, jawaban itu terserah kalian menanggapinya.

Tapi, saya pribadi salah satunya mendeskripsikan perilaku aneh yang terjadi di setiap manusia itu mengacu pada makhluk lain yang keberadaannya ADA di dunia ini atau di bumi ini. Betul, kalau memang pikiran kalian sama dengan pikiran saya, there's animals character live among us. What is it? You tell me. Kalau saya pribadi, kadangkala saya seperti ANJING, gemar berlari kesana kemari, menjilat atas bawah kanan kiri. Kadangkala seperti KUCING, kerjaannya hanya tidur sepanjang hari, kalau lapar lalu bangun makan terus tidur lagi. Mungkin MONYET, doyan sekali melompat di pohon satu ke pohon lainnya (baca : rumah). Mungkin seperti ANJING lagi, menyalak saja sepanjang hari, tapi tidak tahu kenapa. Cukup lucu bagi saya, tapi jangan kau bilang saya ANJING, lalu kau sebut apa dirimu sendiri?
Lihat paragraf yang saya tulis dimuka, para manusia-manusia yang berperilaku seperti itu kalian sebut apa? Saling hantam, saling jilat, saling bunuh... Sebutkan. KECOA, ANJING, BABI, MONYET, TIKUS, ULAR, GURITA, TAPIR, CICAK, BUAYA, terserah... Terserah kalian mau mengidentifikasikan mereka seperti apa, kalau saya, hhmmm... yang seperti saya tulislah.
Dan para binatangpun kerap dianalogikan layaknya wanita atau pria, sifat-sifatnya, tingkah lakunya. Contoh, seperti kumbang-kumbang di taman yang sering menghisap madu katanya, atau seekor burung cucok rowo alias cucak rawa, kalian nyanyikan sendiri liriknya, lalu selain lagu ada istilah-istilah, seperti 'Dog Style', kalian tahukan istilah apa itu, sudah tahu gayanya anjing pakai diturut-turuti segala, 'malu-malu kucing', kucing sekarang malah tidak tahu malu, dan mungkin masih banyak lagi yang saya lupa.
Tapi kalian jangan salah menginterpretasikan karakter binatang ini dengan 'sebutan' binatang okay, bukan itu. Saya tidak mengata-ngatai mereka, saya tidak mengata-ngatai diri saya sendiri, tapi karakter binatang yang hidup di diri saya sendiri, tentu di diri kalian juga.

***

Jabarkan sifat itu untuk diri kalian sendiri, seperti suka menyembunyikan 'wajah' asli di depan orang, suka menjilat orang agar mereka tersanjung lalu disukai, sering berteriak bahkan memaki dengan ironisnya menyebut kata-kata binatang, gemar sekali mengacau membuat onar lalu bertanding kepal dan tendang, mungkin yang lebih halus, pendiam tidak suka bicara tapi dalam hatinya mengoceh tentang segala hal yang ada, pembohong yang sering berkelit dan bersilat lidah, diam-diam tidak pernah meluap emosinya tapi kemudian menyilet-nyilet lengan kirinya. Tolong saya, kalian bantu saya jabarkan lagi segala sifat manusia yang menurut kalian menarik untuk diungkap, dan diasumsikan seperti binatang, tapi bukan dalam artian harfiah, hanya kiasan belaka.

Last words, kalian mengakui atau tidak, mengangguk atau malah menggeleng, sifat ke-binatangan itu sepertinya ada disetiap diri manusia, terkubur rapat di balik wajah ayu nan rupawan tapi palsu, kata-kata manis yang menyesatkan, semoga kalian lebih aware terhadap hal-hal seperti itu, untuk diri sendiri dan untuk orang lain yang kalian sayangi, walau mungkin tidak ada untung-rugi memikirkan hal seperti itu, sayapun berpikir demikian. Atau malah berpikir untuk menjadi binatang itu menyenangkan, hidup bebas dengan alam tak terbendung hal-hal dunia, terbang- berlari- melompat sesuka hati, karena idealnya binatang sama seperti manusia, mereka bebas hidup di bumi ini, tidak dikerangkeng, tidak dipelihara. Okay that's it, it's just an issue... Animal issue.

Salam kebun binatang semuanya, regards.
Cimahi, 28 Mei 2010

Selasa, 06 April 2010


"sometimes I should see my weakness from my back!"

Minggu, 21 Maret 2010

Lapuk

Waktu yang sudah berganti bagi saya
tahun yang terasa seperti bulan
bulan yang berubah menjadi minggu
dan minggu yang berjalan layaknya hari

Tak ada perubahan, tak ada kemajuan
yang ada hanya mulut yang melebar panjang
muka yang menua bagai arang
perut yang membuncit seperti babi

Apalagi menurut kalian ?!
saya tahu, saya seperti katak dalam tempurung
berputar-putar, melompat-lompat
dan akhirnya kembali terjatuh, sialan.

Jawaban Sebelum Pertanyaan : Edisi Kebebasan

Hari ini sebenarnya sering terjadi, hari yang stucked, stunned. Bedanya hari ini saya berhasrat untuk menulis, entah menulis apa, terlalu banyak masalah saya yang ingin saya tulis, entah bernada curhat atau apapun.
Winamp di pc yang saya set shuffle, tiba-tiba mengumandangkan lagu milik The Beatles "Free As A Bird", saya tersentak issue tentang kebebasan sangat dekat sekali sekarang dengan saya, malahan hal ini yang menjadi hal yang saya idam-idamkan belakangan ini, maka saya membuka aplikasi notepad, menulislah saya tentang "kebebasan" ini.

Beberapa definisi kebebasan menurut orang sekitar saya, atau lebih tepatnya kebebasan di kehidupan mereka.
Buat adik saya,
"Kebebasan buat bermain sepuasnya, bisa main ps seharian, gak dimarahi oleh mama."

Buat tukang nasi goreng dekat rumah,
"Kebebasan buat mencukupi kehidupan anak-anak saya, istri saya, gak harus kedinginan berjualan sampai larut malam."

Buat preman sekitar rumah saya,
"Kebebasan buat malakin orang tanpa takut digebukin oleh warga sekitar, dan kebebasan untuk mabok tanpa harus ngeluarin duit buat beli minumannya. (what an idiot!)."

Buat salah satu teman saya yang kuliah,
"Kebebasan buat gak bikin skripsi, gak harus sidang, tapi tiba-tiba lulus dan punya gelar(haha. Proses woy!)."

Buat waria di dekat rumah saya,
"Kebebasan mencari pelanggan tanpa harus marathon dengan satpol pp yang getol nguber-nguber mulu."

Buat tetangga saya,
"Kebebasan bertetangga tanpa harus ada embel-embel digosipin oleh tetangga yang lain."

Buat 5 ekor kucing dirumah saya,
"Kebebasan makan yang enak dengan tidur yang nyenyak."

Buat Ayah saya,
"Kebebasan finasial, kebebasan menyekolahkan anak-anaknya tanpa harus terganggu dengan iuran-iuran yang membengkak."

Buat Ibunda tercinta saya,
"Kebebasan untuk tinggal mengurus urusan rumah saja, dan mendidik anak-anaknya tanpa harus direpoti dengan masalah yang dikasih oleh ayah saya."

Buat seorang Yanuar Kapriradela,
"Kebebasan tanpa harus memikirkan bagaimana caranya mendatangkan uang, kebebasan untuk ikhlas menghadapi masa depan yang apa adanya."

Kebebasan.
Kita memang tidak tahu takaran kebebasan itu sejauh mana?!
Kebebasan yang absolute itu bagaimana?!
Kebebasan yang bukan berarti bebas sebebas-bebasnya, kebebasan yang sederhana yang berkorelasi dengan kehidupan pribadinya sendiri, tidak perlu suatu kebebasan yang berlebihan tapi tidak guna, dalam artian kebebasan yang menghindarkan dari kewajiban sebagai makhluk beradab, as a HUMAN BEING.
Saya memandang suatu kebebasan itu, sesuatu hal yang "mahal".
Saya cukup simple memandang kebebasan dengan kedua mata saya, pembebasan pikiran. Rumit sih sebenarnya, tapi korelasi antara kebebasan dan masalah sepertinya erat sekali, ibarat penyakit dan obat, yang satu menyakitkan yang satu menyembuhkan.
Faktor masalah seringkali menjadi dasar pemikiran manusia disekitar kita menginginkan atau hanya memimpikan kebebasan itu, tanpa ragu pikiran tentang kebebasan itu kadangkala menjadi stimulus pelarian dari rutinitasnya yang berlabelkan manusia, ya, manusia berarti sumurnya masalah.
Dalam artian mata, telinga, dan otak menjadi satu kesatuan, satu kesatuan yang mengikat dan menyaring masalah itu sendiri, masalah itu bertebaran dimana-mana ibarat udara yang berseliweran. Kadang ada yang masuk lewat mata atau telinga lalu mengendap di otak, atau yang hanya lewat saja, relatif.

Beberapa fenomena-fenomena di atas tentang kebebasan menurut mereka adalah contoh kongkrit tentang kebebasan yang paling mereka butuhkan, relatif memang, tapi itu bermakna buat pribadi mereka masing-masing.
Kita tidak perlu menjadi hakim sosial atas permasalahan yang terjadi di hidup mereka yang mungkin bagi kita terlalu diada-ada atau terlalu ringan atau terlalu blablabla atau terlalu cemen.
Samar sepertinya esensi dari freedom ini, tapi bermakna tinggi.
Saya disini pun bertindak bukan sebagai hakim sosial orang-orang disekitar saya, saya hanya berperan sebagai pemerhati, mengangkat issue yang sepertinya menjadi barang mewah akhir-akhir ini, dengan kata lain hal yang sukar untuk dinikmati lagi.

Kalian pikirkan lagi sekarang, apakah kalian sudah mendapatkan kebebasan menurut definisi kalian sendiri, dan apakah kalian sudah mendapatkan kebebasan itu dengan cukup?!
Jangan sekedar jadi robot di episode kehidupan kalian sendiri, kalian tidak diprogram, kalian tidak dipasangi chips yang memaksa kalian untuk menuruti perintah, kalian itu makhluk bebas sama seperti saya.
Makhluk yang berhak mendapatkan kebebasan, beri satu atau dua jam untuk bisa menikmati kebebasan itu, bebas seperti burung.
Nikmati udara yang gratis ini walaupun tidak bersih, nikmati matahari ini yang makin lama makin menyengat, nikmati pantai-pantai yang indah, tidakkah kalian menikmati ketika bulir-bulir pasir memenuhi sela-sela jari kaki?, nikmati pegunungan yang menantang untuk dijelajahi.


"Free as a bird,
It's the next best thing to be.
Free as a bird.
Home, home and dry,
Like a homing bird I'll fly
As a bird on wings.
Whatever happened to
The life that we once knew?
Can we really live without each other?
Where did we lose the touch
That seemed to mean so much?
It always made me feel so... "
The Beatles - Free As A Bird

Beginilah Nasib Si Miskin

Saya memandangi paras muka saya terpantul di kaca sebuah mobil sedan di depan saya, kaca itu berwarna hitam pekat, tidak terlihat sosok manusia yang mengendarainya, saya tidak peduli, saya terus saja bernyanyi dengan nada yang saya buat seriang mungkin, dengan tempo yang acak-acakan dan suara saya yang sedikit parau, saya pikir saya bukan bernyanyi tetapi berkoak-koak mirip seperti burung gagak, dengan dibantu sedikit alunan musik dari tamborin yang saya buat dari besi tutup botol minuman, dan sebatang kayu, saya bernyanyi lagu-lagu masa kini yang diajarkan oleh teman saya, tidak gratis, saya harus membayar untuk sebuah lagu baru, semakin saya beserta teman-teman yang lain menyanyikan lagu-lagu yang paling baru, semakin banyak pula orang-orang yang memberi kita uang barang hanya receh sekalipun, adil, cukup adil menurut saya. Mobil dengan kaca pekat ini tidak membuka membuka, padahal saya sudah memberi bonus sebuah joged, jarang-jarang saya memberi bonus seperti ini, lampu rambu yang awalnya merah sekarang berubah menjadi hijau, mobil itu melesat tanpa memberi saya receh, setan saya pikir, saya tidak mau berteriak mengumpat pada mobil itu, saya harus menghemat tenaga suara saya untuk bernyanyi di lampu merah berikutnya, saya berjalan ke sisi jalan, keringat terus mengucur di sekujur tubuh dan muka saya, kulit yang sudah sangat terbakar matahari, hitam ditambah dengan noda tanah yang sudah melekat beberapa hari ditubuh saya, lalu saya berpikir kapan terakhir kali saya mandi, saya tidak ingat, tempat saya mandi biasanya, sudah tidak ada airnya lagi, jangan berpikiran itu sebuah kamar mandi lengkap dengan kakus dan peralatan mandi yang lengkap seperti di hotel-hotel, tempat mandi saya lebih tepatnya adalah pinggiran jalan, ada sebuah saluran pipa bocor, saya seringkali mandi ataupun bermain air disitu, tapi beberapa waktu lalu beberapa bapak-bapak "merusak" tempat mandi saya, sekarang pipa itu tidak mengeluarkan air lagi, saya memaki kepada bapak-bapak itu, anjing dasar tidak tahu kalau mandi itu sebagian dari kesehatan, menutup tempat mandi orang seenaknya, ah sudah lah, toh walaupun saya berteriak-teriak pada bapak-bapak sialan itu sekalipun, tetap saja bapak-bapak itu meleos pergi tanpa menggubris kata-kata saya.

Panas sekali hari ini, sama seperti hari kemarin-kemarin juga, matahari sudah berada tepat di puncak kepala, memancarkan panasnya hingga ke ujung jempol kaki saya, perut saya berbunyi, setiap hari juga berbunyi, saya hanya makan sekali sehari, tapi kalau saya menemukan harta karun di tong sampah, entah itu nasi bungkus yang tidak habis, ataupun sebuah bala-bala yang sudah penuh dengan gigitan, rasa lapar saya ini sedikit terobati, barang beberapa jam lah, tapi sialan orang-orang makin hari makin pelit, bahkan sampah pun mereka tidak rela untuk dibagi dengan orang seperti saya, tiap kali saya mengoreh-ngoreh tempat sampah, pasti hanya bungkus makanannya tidak tersisa isinya, dasar brengsek, aduh saya lapar sekali sekali, saya merogoh saku celana saya, celana pendek kusam, dekil, putih... asalnya warnanya putih tapi sekarang... hitam jijik, saya mengeluarkan pendapatan saya hari ini, cuma beberapa keping logam saja, saya hitung hanya ada 700 perak, anjing saya pikir, padahal setiap kali ada abang-abang preman yang suka malakin, saya selalu berhasil tunggang langgang kabur, dasar itu preman-preman sialan, bocah seperti saya doyan sekali dipalakin, saya mau makan apa setan, tapi kata-kata itu cukup ada di hati saya saja, kalau kata-kata itu keluar di depan muka preman-preman sialan itu, habislah saya dihajarnya, pelipis saya yang sobek pun belum sembuh total hasil dari tempo hari saya dipukuli preman-preman itu.

Padahal saya sudah mengamen lebih rajin dari anak-anak sekolahan, saya sudah siap sedia dari jam 6 pagi, tapi kenapa saya hanya dapat uang 700 perak, hampir 6 jam saya berada di jalanan ini, tapi belum cukup menghasilkan, sepertinya enak seperti bapak-bapak yang tempo hari saya lihat di televisi, di sebuah gedung yang besar dengan patung garuda yang besar, kerjaan mereka hanya tidur, tapi kata bang Sholeh yang punya kios rokok di seberang, gaji mereka itu puluhan juta tiap bulannya, apalagi kata bang Sholeh, mereka dapat mobil segala dan rumah juga... gratis kata bang Sholeh dengan penuh amarah, enak sekali kata saya, memangnya kerjaanya mereka apa sih bang, saya bertanya ke bang Sholeh, kerjaannya mereka katanya sih mikirin permasalahan rakyat, mereka itu kan wakil-wakil rakyat, tampat menampung inspirasi-inspirasi rakyat, begitu bang Sholeh menuturkan, lalu saya bertanya lagi ke bang Sholeh, inspirasi itu apa bang?, inspirasi... ya inspirasi lah, iya apa bang?, apa ya... pokoknya begitulah jang, maneh loba nanya pisan, kayak yang ngerti sajalah, ah dasar. Penjelasan bang Sholeh masih menjadi pertanyaan buat saya, bukan tentang soal inspirasi sialan itu, tapi tentang pekerjaan bapak-bapak itu, pekerjaan macam apa yang kerjaannya tidur tapi dapat duit puluhan juta, beda sekali dengan saya, kerja lebih dari 12 jam tapi palingan cuma dapat 5000 perak, itupun kalau lagi beruntung. Anjing.

*sebuah sequence dari film pendek saya yang tidak jadi-jadi, brengsek.

Senin, 08 Februari 2010

Living In A Box 1x1 Metre

Some friends asked me. "Hey, how about your life, how is it feel like?"

Then I said. "You know what, it's really hard being a half breed human, it felt like shit you know!"

He asked again. "What do you means with half-breed, and what's like shit?"

And then I replied. "You know. Everything that you do - I mean - I do, not so stupid but not so smart either!" --- "I really hate being like this shit you know, I just don't feel like 'full', you know what I'm saying?"

He asked again, one more. "Dude, I still don't get it, what is it feels like?"

And I answers it, with flaring up. "Okay, let me explains 'bout it. Just like you attracted to plays guitar, but how long it takes you learns 'bout guitar, you can't be a master guitar. When you learn about photography, you just 'can' about it, but you're not an expert. When you try to write a short-story-or bigger like novel maybe, you just can write it, that's all. And you think you're works is suck, and so do people! Do you get it rite know?"

Friends. "Uhhh, okay I get it - a lil' bit honestly!"

Me. "My goshh, with who I was talking to, a donkey? C'mon!"

And then he open his mouth---again. "Hey, it's me man, you was talking with me. There's no donkey around here---rite? (looks around!)."

Me again. "Keep your mouth shut bitch, or I'll kick your back- to the zoo!"


Okay, terus judul di atas artinya apa? box 1x1 meter? here it goes!
Menurut kalian setengah pintar dan setengah idiot itu ada apa gak sih, apakah kalian merasa sama seperti itu barangkali?
Judul diatas of course it's phrase, but I'm living in it - it's phrase too of course. Jadi kamu memang hidup tapi daerah cakupan kamu itu tidak lebih dari sebuah kotak dengan panjang 1x1 meter.
Saya sangat membenci dengan hal itu yang ada di diri saya sendiri, saya tidak pernah bisa - artian bisa yang ahli - dalam segala suatu hal, It's feels like unfull, ya, memang seperti itu, kamu melakukan suatu hal yang kamu anggap menarik, and you get into it, tapi setelah beberapa lama kemampuan kamu tentang hal yang kamu pelajari itu tidak bertambah-tambah, tidak ada kemajuan, kamu hanya bisa saja, bisa tho kalau kata orang jawa, tidak lebih.

Itu sangat sangat terjadi di diri saya, saya melakukan cukup banyak hal menurut saya, saya beri contoh dari mulai mempelajari tentang komputer baik hardware atau software ataupun jaringan, menjadi seorang atlet bola basket, terus tentang gitar dan mencoba untuk menulis lagu, terus bermain keyboard, kemudian tentang perfilman dan mencoba untuk menjadi script-writer dan sutradara, yang terakhir bergelut dengan kata-kata alias menulis. Semua-semua itu tidak ada yang expert, tidak ada yang bisa dibilang 'jago', menyedihkan kalau saya rasa, dan sangat memuakkan sekali. Padahal you've got all times in the world dan lagi kamu merasa kamu sudah mengeluarkan kapasitas kamu seluruhnya, tapi tetap saja hasilnya 'nothing', it's feels like shit, isn't it?!

Ini seperti sebuah disease, sebuah penyakit bernama 'biasa' atau 'reguler', tapi kalau memang itu sebuah penyakit saya penasaran juga ingin tahu nama penyakitnya apa? keren gak ya, seperti, schizoprenia, atau obsessive-compulsive, atau voyeurism, atau apalah yang terdengar asing di telinga tapi nyaman di hati (naon lah!). Tapi apalah arti sebuah nama, yang penting kan niatnya. Sialan, siapa juga yang ingin seperti itu, pakai niat segala lagi, memangnya mau sholat.

Kalau memang ini bukan sama sekali suatu penyakit, atau hanya saya saja yang terlalu melebar-lebarkannya, lalu kesimpulannya apa? sebuah 'rarasaan' hungkul, hanya sekedar sugesti saja. Masih belum pantas untuk di diagnosa sebagai penyakit, apalagi diberi nama?
Terus apa, jadi kenapa bisa seperti ini--- (Tunggu, perasaan saya niatnya mau mendeskripsikan tulisan ini dengan nada marah-marah, kenapa nadanya jadi riang. Komedi?! Eat me lah!)
Kalau memang hanya sekedar pikiran di otak saja, bukannya penyakit seperti schizoprenia juga berawal dari otaknya juga? Yang mempengaruhi kinerja otaknya juga. Tapi---

Sudah ah--- cukup saya menyerah, mungkin saya memang tidak dilahirkan untuk menjadi dewa gitar, ataupun maestro piano seperti Mozart, ahli komputer seperti Bill Gates atau Mark Zuckenberg, ataupun penulis handal layaknya Hemmingway atau Truman Capote. Tidak. Tapi, saya ditakdirkan untuk satu hal, yaitu--- menjadi penikmat saja alias penonton, bukannya semua hasil karya itu idealnya ada pencipta lalu mendapat apresiasi dari yang tidak bisa mencipta alias orang biasa-biasa saja, ya, simbios mutualisme lah. Tapi semoga diluar sana ada juga manusia-manusia dengan 'Penyakit' sama seperti saya ini, biar saya tidak merasa bahwa hanya saya sendiri orang bodoh di dunia ini. Amin.

* ) Tambahan : yang paling benci menjadi orang dengan penyakit 'Biasa' ini adalah, kecenderungan untuk tertarik ke berbagai hal, gampang sekali terpukau akan sesuatu hal, ketika mencoba untuk dilakukan... Te Tot... hanya bisa biasa-biasa saja. Menyebalkan.

* ) Tambahan kedua : ada pepatah mengatakan. "Kejarlah ilmu sampai ke negeri China--- tapi kalau bodoh, cukup sampai ke Malaysia saja! hahaha."


* tulisan macam apa ini?!

Engkau Musuhku Malam Ini

Bantingan pintu itu jelas-jelas keras, jelas-jelas terdengar seperti suara geledek, tapi Indra acuh tidak acuh bahkan ia tidak peduli kalau saja pintu itu roboh lalu hancur berkeping-keping atau rumahnya ikut roboh sekalipun. Ia sudah sangat marah tanpa harus mempedulikan hal yang lain pikirnya, sambil terus berjalan mondar-mandir di teras rumahnya, ia terus meracau tidak jelas, mengeluarkan kata-kata yang terdengar seperti komat-kamit. Kemudian ia merogoh saku celananya, mengeluarkan sebungkus rokok dan mengambil sebatang rokok filter didalamnya lalu menaruh di sela-sela bibirnya, ia mencari-cari korek didalam celananya, merogoh-rogoh sambil terus komat-kamit tidak jelas, dia mengeluarkan sekotak korek api batangan lalu menyalakan rokok yang sudah sedari tadi berada di bibirnya.
Ia masih saja terus uring-uringan tanpa henti, dia bersandar di tembok. Rumah tua dengan gaya arsitektur art deco, masih dengan kursi-kursi dan meja kayu yang modelnya sudah tidak lagi diproduksi jaman sekarang, ia berada di sebelah kursinya itu, hembusan asap rokok langsung berbaur ditelan angin yang cukup dingin dan cukup kencang malam ini, ia terus menyedot rokok itu tanpa ampun tampak seperti orang kesetanan.

Tak lama ia mendengar pintu depan itu terbuka, suara engsel yang bercicit yang harusnya sudah ia beri oli agar tidak mengeluarkan bunyi yang menyebalkan. Muncul dibalik pintu sesosok wanita anggun, masih cantik untuk umur yang sudah kepala tiga. Ia adalah Mayang, istri dari Indra untuk sekitar 7 tahun ini, dengan suara yang sedikit bergetar Mayang lalu berkata. "Kamu jangan seperti ini mas, jangan jadi malah marah-marah, terus---"
Indra hanya terdiam, dengan mata yang menusuk bagai elang, air muka yang mendidih, ia tidak mengeluarkan suara barang sekata pun, Mayang menangkap ia tidak perlu lagi meneruskan kata-katanya, suaminya sudah sangat marah malam ini. "Kamu pikir pikiran kamu itu bisa aku anggap normal---bisa aku anggap ide yang brilian. Kamu gila, kamu pikir aku sudah cukup tidak waras." Hening sejenak, Mayang tidak langsung menanggapi perkataan suaminya. "Lalu bagaimana caranya kalau kamu pikir ide aku itu buruk mas, bagaimana...?!"

Tidak mempedulikan kata-kata istrinya, Indra mengeluarkan lagi sebatang rokok dalam saku celananya, ketika Indra menyalakan rokok, pancaran api dari korek batangannya menerangi wajahnya barang sedetik, Mayang bisa melihat raut muka Indra yang kurus, kulit yang agak terbakar matahari. Sedetik Mayang merasa sangat kasihan dengan nasib suaminya, Indra memang pekerja keras, ia memang tidak pernah lari dari tanggung jawabnya sebagai seorang suami dan seorang ayah untuk ketiga anak perempuannya yang masih kecil-kecil, sosok Indra sewaktu pertama kali Mayang bertemu dengannya memang sudah seperti ini, tapi ada perasaan yang berbeda sesudah ia menikahi atau lebih tepatnya mencintai seseorang yang bernama Indra yang sedang berdiri di depannya dengan mengeluarkan aura marah yang cukup kentara.

"Kalau kamu tidak mau dengan ide aku mas, ya tolonglah kamu sedikit kurangi keidealisan kamu itu di kantor. Coba seperti rekan-rekan kamu itu!" Indra sudah sangat sangat murka sekarang, ia seperti sedang terpanggang di bara api yang sangat panas.
"...Aku sudah bilang seribu kali ke kamu---orang-orang di kantor aku itu babi semua. Mereka itu orang-orang bodoh, yang kerjaannya tidak ada tapi menuntut untuk terus dapat bonus terus kenaikan gaji. Walaupun aku ini cuma seorang pns, aku tidak mau menjadi orang yang picik seperti itu---aku punya harga diri May..."
Dengan sigap Mayang memotong, "Terus mau kamu apa, kamu pikir dengan harga diri, kita bisa ngasih makan anak-anak kita, kita bisa bayar iuran sekolah mereka, pikir dong mas pikir---"
"Kamu pikir aku sekarang tidak sedang berpikir, aku ini tiap hari mikir May, aku---"
Mayang secepat kilat memotong kalimat suaminya. "Terus mana hasilnya, mana aku tanya, gaji kamu itu sangat pas-pasan mas---hanya bisa menghidupi sepuluh hari untuk kita berlima ini!"
Indra kembali terdiam tapi tetap raut mukanya masih murka, ia ingin sekali meledak, ia ingin sekali membenamkan kepala di dalam tanah, tanpa omongan-omongan dari istrinya pun ia sudah cukup pusing dengan segala macam pikirannya sendiri.

Indra lalu bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apa salah menjadi orang yang jujur, apa salah menjadi orang yang mendapat haknya dari hasil kerjanya sendiri, bukan uang buta, bukan uang haram, apa ia harus menjadi seperti orang-orang lain yang dengan bangganya mendapat uang bukan dari hasil kerja kerasnya, bukan dari keringatnya sendiri.
"Mas... mas, kamu kok malah ngelamun sih?" Indra tertunduk lesu, dengan pancaran mukanya yang berharap agar Mayang berhenti bicara.
"Aku sudah sangat pusing malam ini May, aku mohon besok saja kita lanjutkan obrolan ini."
Tampak Indra mulai mereda, tungkainya sudah sangat letih, sudah banyak beban mengendap disana, tapi bukannya malah mengiyakan perkataan suaminya Mayang malahan membombardir Indra dengan senapan mulutnya.
"Tidak bisa mas, kita sudah sangat kekurangan uang, tidak bisa santai-santai saja, ya sudah kamu nurut saja dengan---"
Giliran Indra yang memotong kalimat Mayang. "Cukup May... cukup. Kamu pikir dengan kamu menjual diri kamu ke mantan pacar kamu itu, bisa aku tolerir, aku bisa dengan santai hanya diam saja."
Angin sudah mulai sangat dingin, wajar, jam sudah memukul 11 malam.
"Hanya sekali mas, dia berjanji bakal memberi kita suntikan dana 20 juta, anggap saja aku hanya pergi jalan dengan dia, tidak tidur dengannya."
Mata yang asalnya sudah tidak cukup kuat untuk terbuka, dan mulut yang sudah mengatup, kini malah membuka sangat lebar.
"Harga diri kamu... kamu taruh dimana May, kamu pikir suami mana yang rela istrinya bersetubuh dengan laki-laki lain dan hanya bisa pasrah, kamu sudah tidak punya otak ya May..."
Dengan sangat murka dan setengah berteriak. "Karena aku punya otak mas, aku harus memberi makan anak-anak kita, kamu pikir dengan gaji kamu yang hanya 2 juta itu cukup buat menghidupi kita mas, menghidupi anak-anak kita."
"Aku tidak tahu May, aku cape!" Indra berkata tetapi yang terdengar seperti sebuah bisikan lirih.

Indra selalu saja luluh untuk segala omongan yang keluar dari mulut istrinya, ia sangat sangat mencintai istrinya dan sangat mencintai ketiga anaknya, suara burung hantu di kejauhan samar-samar terdengar membuat bulu kuduk terbangun, malam sudah lebih jauh jauh berlari, disaksikan bulan yang malu-malu mengintip dari balik awan, dan suara-suara angin yang bergesekan dengan pepohonan.
Indra hanya bisa menangis di obrolan malam yang cukup kelam ini, ia sudah tidak sanggup untuk berkata apapun lagi, ia terjatuh lesu di atas kedua lututnya, mengutuk kehidupan yang sangat sangat tidak adil untuknya, untuk keluarganya.

*Cimahi, 27 Januari 2009