FILM atau gambar hidup atau gambar bergerak atau apapun kau menyebutnya sesuka hatimu, adalah sebuah karya seni yang sudah begitu melekat di segi-segi kehidupan manusia jaman sekarang bahkan untuk jaman dahulu, sebuah seni yang sudah menjadi komoditi perseorangan atau kelompok untuk memenuhi hasratnya.
Film yang belakangan ini menjadi kegemaran, menjadi nilai prestigious supaya bisa dibilang tidak ketinggalan jaman (tapi menurut saya jaman yang seperti apa dulu..?!), kegiatan menonton film yang mengisi waktu kalian bersama teman-teman dekat kalian, atau kekasih kalian, adalah sebuah genre dari seni yang patut kalian sangat hargai, dan apakah kalian tahu asal mula dari si gambar bergerak ini?!
Saya akan membuka sekilas tentang sejarah perfilman, tentang siapa penemu, siapa orang yang pertama kali membuat film, dan kemudian saya akan mengkilas balik tentang sejarah perfilman di Indonesia...selamat menikmati, dan maaf kalau terlalu panjang walaupun sebenarnya masih terlalu pendek untuk menceritakan tentang film. Salute.
Chapter One
Film adalah sebuah karya dari manusia yang sangat fenomenal yang berkembang menjadi sebuah trend, sebuah kebutuhan, film sekarang bukan hanya sekedar tontonan belaka, sebuah karya peninggalan dari abad 20 walaupun di abad 19 sudah mulai ditemukan, sang bersaudara Lumiere lah yang pertama kali menghebohkan dunia dengan karya seni gambar bergerak, ide ini muncul dengan meminjam hasil teknologi dari sang jenius dunia bernama
Thomas Alva Edison atau kita lebih mengenal sebagai Bapak Penerangan karena beliau adalah orang yang menemukan teknologi bola lampu dan ia pula lah yang bertanggung jawab piringan hitam ada di muka bumi ini, awal mulanya om Thomas pada tahun 1887 merancang sebuah alat guna merekam dan membuat gambar, ide membuat alat itu didasari oleh hasil penemuan terdahulu yaitu
fonograf, kalau fonograf berfungsi untuk merekam suara dan om Thomas berpikir kenapa tidak membuat alat untuk merekam gambar dan bergerak, lalu ia berhasil membuat alat untuk merekam gambar bergerak tersebut dan dinamakan
Kinetoskop, tetapi ada kendala, om Thomas belum menemukan bahan dasar untuk merekam gambar bergeraknya tersebut, lalu datanglah om
George Eastman menawarkan idenya, beliau menganjurkan agar om Thomas memakai bahan serupa plastik tembus pandang yang cukup ulet dan mudah untuk digulung, bahan itu dikenal dengan sebutan
Siluloid, dan jadilah sebuah alat canggih pada jaman itu untuk merekam gambar bergerak.
Kinetoskop bentuknya mirip dengan sebuah kotak, mempunyai lubang untuk mengintip hasil rekaman gambar bergerak tersebut, dan pada tahun 1894 om Thomas mulai mempublikasikan dan mempertontonkan teknologi hasil buatannya pada orang-orang, pertama kali ia memulai pertunjukkannya di studio miliknya di kota
New York yang bernama
Black Maria, kenapa namanya Black Maria dikarenakan sekonyong-konyongnya seluruh studio itu didominasi warna hitam bahkan seluruhnya berwana hitam. Pertunjukan pertama kali di dunia malalui alat Kinetoskop itu adalah potongan-potongan pertandingan tinju, segeralah setelah itu warga dunia geger dengan penemuan hasil om Thomas dan kawan-kawan tersebut, dan sampai pada kedua mata milik kakak beradik
August dan
Louis Lumiere yang berkebangsaan
Perancis, asal dari cheese (no, i'm kidding!).
Berawal dari hasil penemuan om Thomas itu, bersaudara Lumiere mulai berimajinasi untuk membuat sebuah film, bukan hanya sebuah potongan-potongan yang om Thomas lakukan, lalu Lumiere bersaudara mulai mengoprek-oprek alat Kinetoskop yang sudah om Thomas temukan, mereka kemudian merancang ulang dan mengkombinasikan Kinetoskop dengan alat serupa proyektor yang dikemudian diberi ngaran
Sinematograf. Alat Sinematograf ini mengalami perubahan berkali-kali karena Lumiere bersaudara ingin alat itu lebih kecil (portable), menghasilkan kualitas gambar yang bagus, dan tidak rumit seperti yang om Thomas buat, tapi saya tidak akan cape-cape menjabarkan bagaimana mekanisme alat ini bergerak dan menghasilkan suatu film, dijamin pusing dah, I bet you!
Tetapi film-film karya Lumiere bersaudara ini berkisar tentang kejadian atau aktifitas orang sehari-hari, lalu muncullah om
George Milies, om George adalah seorang pemilik pertunjukkan sulap dan om George adalah salah satu orang yang kerap menonton film milik Lumiere bersaudara, lalu intuisinya sebagai seorang penghibur kemudian ia mempunyai ide membuat film yang imajiner sehingga lahirlah film
Trip To The Moon pada tahun 1902 dan berhasil menggemparkan dunia pertunjukkan seantero jagad, dan film Trip To The Moon adalah film fiksi pertama di dunia, lalu om George dijuluki
Bapak Film Cerita oleh dunia.
That's it, sedikit dari sejarah awal lahirnya film ke dunia, semoga kalian tidak hanya menjadi penonton belaka yang belum apa-apa sudah mengclaim dirinya
"saya penggemar film" tanpa tahu sejarah dari sebuah film tersebut. Sekarang film telah mempunyai seribu bentuk, berbagai genre film telah bermunculan, berjuta-juta pekerja film telah bermunculan, dan orang-orang berbondong-bondong beralih profesi menjadi insan film, bagus sekali itu.
Tapi memang dasarnya manusia, ada film yang sangat-sangat bagus dan ada pula film yang sangat-sangat butut, ulah dari beberapa pekerja film yang semata-mata hanya ingin mengeruk lembaran-lembaran duit saja, tanpa mempedulikan aspek dari film itu sendiri, berkualitas atau tidak, edukatif atau tidak, mempunyai pesan moral atau tidak, tampaknya film sudah ternodai oleh ulah bangsat-bangsat tidak bertanggung jawab itu, tapi mari kita tinggalkan para bedebah itu.
Okay sekarang kita lompat ke perfilman nasional alias perfilman Indonesia,
go...Chapter TwoFilm pertama kali muncul di Indonesia adalah pada tahun 1900 an yang dibawa oleh para penjajah jahanam dari Belanda, film yang diputar pun film hasil produksi Amerika, film yang paling menggemparkan di Indonesia pada awal abad 20 an adalah film
The Great Train Robbery pada tahun 1903. Lalu film pertama kali di produksi di Indonesia pada tahun 1926, film tersebut berjudul
Loetoeng Kasaroeng milik production house Java Film Co. pemiliknya adalah orang belanda dan ia berperan menjadi produser sekaligus sutradara dari film Loetoeng Kasaroeng tersebut, animo masyarakat cukup lumayan banyak (yaiyalah lumayan, warga lokal kalau tidak nonton bakal disiksa.haha). Setelah Loetoeng Kasaroeng muncul film
Eulis Atjih tahun 1927, disini para pengusaha Tionghoa menjadi produsernya, kemudian banyak bermunculan rumah-rumah produksi dan kebanyakan dibuat oleh para bangsa kulit kuning a.k.a Tionghoa, dan mereka mengimpor pula film-film dari negeri China yang cukup tersohor di Indonesia , tetapi tidak lama juga setelah datang para penjajah lainnya dari negeri Matahari Terbit alias Jepang, penjajah Jepang itu menjadikan media film sebagai alat propagandanya, dan mereka hanya memproduksi 3 judul film lalu Indonesia merdeka deh, hush hush Jepang, take your ass away from here.hehe.
Film milik asli bangsa Indonesia sendiri diproduksi pada tahun 1949 yaitu berjudul
Air Mata Mengalir di Tjitarum dan
Bengawan Solo, pada tahun yang sama
Usmar Ismail membuat film
Tjitra yang kelak dipatenkan menjadi nama piala di ajang
Festival Film Indonesia, tetapi campur tangan pihak produser yang (masih) notebene warga Tionghoa cukup besar, bang Usmar Ismail tidak mengakui film Tjitra adalah hasil murni karya beliau, baru pada tahun 1950 lah ia menelurkan film
Darah dan Doa sebagai karyanya seratus persen, bahkan pada 11 oktober 1962, dewan film Indonesia menetapkan hari shooting pertama film Darah dan Doa adalah
Hari Film Nasional, dan Usmar Ismail sebagai
Bapak Perfilman Nasional berbagi jabatan dengan
Djamaluddin Malik, sang ayah dari Camelia Malik dan ayah tiri dari Ahmad Albar.
Kemudian Usmar Ismail mendirikan
Perfini (Persatuan Film Nasional Indonesia) yang menghasilkan film-film berkualitas, lewat hasil tangan dinginnya lahirlah bintang-bintang Indonesia kenamaan, seperti,
Bambang Irawan (ayah Ria Irawan), Mieke Widjaya (ibu Nia Zulkarnean), Rachmat Hidayat, Suzanna, sampai Lenny Marlina, sedangkan Djamaluddin Malik membuat
Persari (Persatuan Film Dalam Negeri.mungkin!haha) membuat film berwarna selain hitam-putih pertama kali di Indonesia bekerja sama dengan rumah produksi dari Filipina, yaitu
Rodrigo de Villa dan
Holiday in Bali, untuk Holiday in Bali diperankan aktor Filipina
Joseph Estrada yang kelak menjadi Presiden
Filipina.Perfilman dalam negeri mempunyai saingan-saingan yang cukup berat, seperti film-film Malaysia yang cukup digemari (kok bisa yah?!), dan dari negeri lebay nan bombay, India, dan tentunya saingan paling berat yang tidak ada tandingannya Amerika Serikat, namun semua terhenti ketika
Presiden Soekarno memboikot film-film dan musik-musik dari luar dengan slogannya yang cukup terkenal
"Inggris kita linggis, Amerika kita setrika", film-film luar tidak ada yang masuk bahkan piringan hitam
The Beatles pun dibakar oleh Bung Karno (Beatles kan bagus bung Karno, gimana sih?!) dan Koes bersaudara alias grup musik
Koes Plus dijebloskan ke penjara Glodok tanpa alasan, tapi bung Karno memperbolehkan film-film karya produksi
Uni Soviet dan Eropa Timur yang notabene menganut paham komunis merajalela di perfilman dalam negeri, tapi toh film-film itu tidak sukses dari segi apapun di Indonesia, perfilman karya anak bangsa sendiri mati suri pada jaman itu.
Kemudian muncul film-film dari
Hong Kong dan dari
Italia, sejak itu film-film Indonesia kembali bangkit berkat film bergenre drama seks yaitu
Bernafas Dalam Lumpur pada tahun 1970 yang diperankan oleh siapa lagi kalau bukan tante
Suzanna (hore!), bersama Rachmat Kartolo, dan Farrouk Affero, setelah itu bermunculan film-film bergenre sama yaitu drama seks, dikarenakan untuk para sineas luar negeri bila mereka ingin mengimpor film-filmnya ke Indonesia mereka diwajibkan untuk membuat film lokal dahulu, maka menurut mereka genre apalagi yang mudah dibuat, biayanya murah, serta dijamin sukses adalah film bergenre seks atau drama seks, tapi jangan senang dulu hey para maniak seks, tapi pada tahun 1970 an Indonesia mencatat lima nama sineas-sineas yang sangat berkualitas seperti,
Teguh Karya,
Sjuman Djaya (ayah Titi Sjuman),
Wim Umboh,
Arifin C. Noer (suami Jajang C. Noer), dan
Nya Abbas Akup.Masing-masing sutradara melahirkan nama-nama aktor dan aktris terkenal,
Teguh Karya membawa Slamet Rahardjo, Christine Hakim, Alex Komang (untuk nama yang terakhir, film terakhirnya butut banget !), lalu
Sjuman Djaya dengan Deddy Sutomo, Benyamin S., Rano Karno, Roy Marten, Yenny Rahman, lalu
Wim Umboh membawa Sophan Shopian, Widyawati, Cok Simbara, sampai Meriam Bellina, Lalu
Arifin C. Noer membawa Joice Erna, Marrisa Haque, dan tentunya sang istri Jajang C. Noer, dan terakhir
Nya Abbas Akup mengorbitkan Titiek Puspa, Ray Sahetapy, Dewi Yull, Doris Callebaute, dan (favorit saya!) Didi Petet.
Berbagai genre film di Indonesia pun mulai beragam tak hanya dari Drama saja, ada pula Komedi yang diawali oleh
Bing Slamet (dengan Kwartet Jaya nya Eddy Sud, Ateng, Iskak), Lalu muncul
S. Bagyo (bersama S. Diran, Darto Helm, Sol Soleh), Lalu
Jojon dengan Jayakarta Group (Tjahyono, Joni, Uuk), Lalu
Benyamin S. (berduet dengan Ida Royani, Eddy Gombloh, Mansyur Syah), dan yang terakhir yang filmnya paling sering diputar sampai sekarang
Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro, Nanu). Dari genre Horor Mistik pastinya tante
Suzanna, Genre Action
Barry Prima, Advent Bangun, dan George Rudy, dan untuk genre Musikal, dari Dangdut siapa lagi kalau bukan bang haji
Rhoma Irama (juuudi...tet.), untuk genre musik rock atau jazz anehnya kurang mendapat sambutan bahkan sampai hari ini. Tetapi sekali lagi film Indonesia mengalami keterpurukan dan tidur panjang pada tahun 1990, karena bioskop dipenuhi film-film tidak bermutu dan bararutut yang bergenre seks, barulah pada tahun 1999, seorang wanita, istri dari aktor
Mathias Muchus yaitu
Mira Lesmana menyuntikkan angin segar pada perfilman Indonesia lewat
Petualangan Sherina, dan
Ada Apa Dengan Cinta ? pada tahun 2001 yang mempelopori genre Drama Remaja kala itu.
Kalau di Hollywood punya piala
Oscar lewat
Academy Award nya, di Indonesia lahir
Festival Film Indonesia (FFI) yang diadakan pertama kali pada tanggal 5 April 1955 di Jakarta, tetapi terhenti diselanggarakan pada tahun 1992 karena film yang beredar di Indonesia saat itu dianggap tidak layak untuk diapresiasi, lalu kembali diadakan pada tahun 2004 sampai sekarang, tapi ada catatan khusus pada pagelaran FFI tahun 2006, dikarenakan film (butut pisan) Ekskul meraih film terbaik pada saat itu, seluruh insan film yang mendapat Piala Citra pada malam itu berbondong-bondong mengembalikan Piala Citra, karena menurut mereka film Ekskul tidak memenuhi kriteria film terbaik (betul banget), plus scoring nya yang menjiplak dari film-film Amerika
Sekarang telah bermunculan sineas-sineas abad 21 di Indonesia yang cukup berkualitas seperti,
Mira Lesmana (seringnya sebagai produser), Riri Reza, Nan Achnas, Rizal Mantovani (butut orang ini mah butut, sumpah!), Dimas Djayadiningrat, Nia Dinata (kadang berperan sebagai produser), Sekar Ayu (Biola Tak Berdawai), Djoko Anwar (Janji Joni, Pintu Terlarang), Rudi Soejarwo (Ada Apa Dengan Cinta?, Kambing Jantan), Hanung Bramantyo (Jomblo), Hanny R. Saputra, Teddy Soeriaatmadja, Rako Prijanto, Upi Avianto (Serigala Terakhir), selain dari para sineas-sineas yang terbilang cukup muda di atas, ada pula beberapa nama yang cukup malah sangat berkualitas seperti,
Garin Nugroho lewat film
Cinta dalam Sepotong Roti pada tahun 1990 namanya langsung melambung sebagai sutradara berkualitas yang Indonesia miliki, ia pun sempat menjadi juri di ajang festival film internasional di
Venesia akhir-akhir ini, lalu ada nama
Deddy Mizwar lewat
Ketika, Kiamat Sudah Dekat, Nagabonar Jadi 2.Dibalik sutradara pun jabatan yang cukup punya andil besar seperti
Director of Photography (DOP), Script Writer, Editor, Music Director jangan pernah kalian lupakan, karena sebuah film tidak akan pernah ada bila tidak ada campur tangan dari mereka-mereka itu. Diantara sutradara-sutradara yang telah saya sebutkan namanya diatas, ada pula beberapa nama yang cukup produktif membuat film, tapi karena kebanyakan film mereka sangat tidak berkualitas, kalian cari saja namanya sendiri (biasa anak buah para Bombayers). Pada dua nama diatas masing-masing mempunyai Prodution House nya masing-masing seperti Mira Lesmana dengan
Miles, Nia Dinata dengan
Kalyana Shira Film, dan ada total sekitar 15 rumah produksi lagi dan mungkin sekarang bertambah tapi didominasi para produser dari negara bombay keparat itu yang lebih banyak daripada rumah produksi yang berkualitas, kembali lagi mereka ingin menciptakan pangsa penonton yang hanya menonton saja dan tidak memberikan sisi edukatif, pesan moral. Setelah keluar dari bioskop atau menonton dvd dirumah, sudah saja tidak ada kesan, tidak ada yang bisa didapat dan dibahas.
What a great movie...for dummies !Chapter ThreeFilm Indonesia sekarang diwarnai lebih banyak oleh film-film butut yang bergenre itu-itu saja, contohnya
Horror, setelah film Jelangkung yang meraih sambutan luar biasa dari para penonton Indonesia, rumah-rumah produksi terutama rumah produksi dinasti negeri bombay berlomba-lomba memproduksi film bergenre serupa, mereka secara massive memproduksi film-film Horror, kembali lagi dengan ide cerita yang butut, sinematograpy yang butut juga, mereka seolah-seolah menanamkan bom bodoh pada para penonton Indonesia, dan memang dasar bodohnya orang-orang Indonesia (para alayism khususnya), mereka pun dengan wajah sumringahnya mengantri di bioskop hanya untuk sensasi tegang saja, kalian tidak sadar bahwa dengan membeli karcis atau membeli DVD (even bajakan), kalian malah membuat para produser-produser goblok itu mempunyai alasan kenapa mereka masih memproduksi film-film bergenre tersebut, lalu fenomenal genre
Drama Seks Komedi Remaja yang menjadi momok mengerikan buat saya, sekali lagi para penonton-penonton tolol lah yang menonton film-film bergenre tersebut, kebanjiran duitlah para rumah produksi keparat itu, aduh mindset para penonton di Indonesia ini harus dirubah sebelum Indonesia kembali terpuruk dan tertidur lagi dikarenakan pihak-pihak yang sekali lagi hanya ingin mengeruk keuntungan belaka saja di Indonesia tanpa memikirkan akibatnya.
Mungkin kalian tidak sadar kalian itu sedang dibodohi secara intensif oleh rumah-rumah produksi keparat itu, kalian harus disadarkan dengan tontonan film yang berkualitas, kalian jangan hanya mencari hiburan doang, itu membuat otak kalian bodoh. Kalian harus lebih selektif memilih film untuk kalian tonton, toh ada banyak judul film Indonesia yang layak untuk ditonton, walaupun mungkin dari segi hiburannya lebih sedikit, tapi toh membuat kalian pintar, mungkin kalian tidak peduli dengan nasib perfilman Indonesia, apalagi untuk para sineas-sineas berbakat dan berkualitas yang sudah ada sekarang di Indonesia, setidaknya tunjukkan empati kalian dengan tidak menonton film-film tai kucing itu, kalian pun tahu mungkin film yang tai kucing itu seperti apa, apakah kalian tidak ingin Indonesia dianggap sebagai negara yang memproduksi film-film berkualitas, bermutu, dan baru, jangan cuma genre Seks remaja atau Horror atau lebih parahnya digabungkan (Tidak....!!!), kalau horror nya berkualitas sih no problemo tapi pastilah produksi orang-orang ahe-ahe itu mah butut-butut semua.
Kembali pada pokok awal bahasan diatas, karena film sudah menjadi sebuah komoditi, perkembangan dari film itu sendiri pun kurang terlalu diperhatikan, khususnya untuk kaum Indonesia. Film-film yang sebenarnya bernilai tinggi tapi dikarenakan promosinya kurang, tidak mempunyai aktor terkenal, tidak mempunyai efek canggih, lantas kemudian film yang bermutu malah menjadi terbengkalai, tidak dilirik sedikitpun.
Mari kita ciptakan bangsa penonton yang baik, yang selektif dengan film tontonannya, maka dari itu berpikir pintarlah sedikit, kurangi menonton film yang tidak bermutu, yang hanya mengandalkan efek saja, seks saja, setan-setan norak dengan make-up menor, mari menjadi penonton film berkualitas dari orang-orang yang berkualitas, dan mari menjadi tuan rumah di negara kita sendiri, dan mari menjadikan bangsa Indonesia sebagai pengimpor film-film bermutu untuk esok hari.
Mari kita budayakan menonton film!!! Go Films and Go Indonesian Films...Salam Film,
Yanuar Kapriradela
Cimahi, Desember 04 '09*maaf bila ada salah informasi, salah lokasi, salah nama, tidak bermaksud dan terima kasih untuk beberapa majalah yang saya sadur informasinya. salute...