Senin, 08 Februari 2010

Living In A Box 1x1 Metre

Some friends asked me. "Hey, how about your life, how is it feel like?"

Then I said. "You know what, it's really hard being a half breed human, it felt like shit you know!"

He asked again. "What do you means with half-breed, and what's like shit?"

And then I replied. "You know. Everything that you do - I mean - I do, not so stupid but not so smart either!" --- "I really hate being like this shit you know, I just don't feel like 'full', you know what I'm saying?"

He asked again, one more. "Dude, I still don't get it, what is it feels like?"

And I answers it, with flaring up. "Okay, let me explains 'bout it. Just like you attracted to plays guitar, but how long it takes you learns 'bout guitar, you can't be a master guitar. When you learn about photography, you just 'can' about it, but you're not an expert. When you try to write a short-story-or bigger like novel maybe, you just can write it, that's all. And you think you're works is suck, and so do people! Do you get it rite know?"

Friends. "Uhhh, okay I get it - a lil' bit honestly!"

Me. "My goshh, with who I was talking to, a donkey? C'mon!"

And then he open his mouth---again. "Hey, it's me man, you was talking with me. There's no donkey around here---rite? (looks around!)."

Me again. "Keep your mouth shut bitch, or I'll kick your back- to the zoo!"


Okay, terus judul di atas artinya apa? box 1x1 meter? here it goes!
Menurut kalian setengah pintar dan setengah idiot itu ada apa gak sih, apakah kalian merasa sama seperti itu barangkali?
Judul diatas of course it's phrase, but I'm living in it - it's phrase too of course. Jadi kamu memang hidup tapi daerah cakupan kamu itu tidak lebih dari sebuah kotak dengan panjang 1x1 meter.
Saya sangat membenci dengan hal itu yang ada di diri saya sendiri, saya tidak pernah bisa - artian bisa yang ahli - dalam segala suatu hal, It's feels like unfull, ya, memang seperti itu, kamu melakukan suatu hal yang kamu anggap menarik, and you get into it, tapi setelah beberapa lama kemampuan kamu tentang hal yang kamu pelajari itu tidak bertambah-tambah, tidak ada kemajuan, kamu hanya bisa saja, bisa tho kalau kata orang jawa, tidak lebih.

Itu sangat sangat terjadi di diri saya, saya melakukan cukup banyak hal menurut saya, saya beri contoh dari mulai mempelajari tentang komputer baik hardware atau software ataupun jaringan, menjadi seorang atlet bola basket, terus tentang gitar dan mencoba untuk menulis lagu, terus bermain keyboard, kemudian tentang perfilman dan mencoba untuk menjadi script-writer dan sutradara, yang terakhir bergelut dengan kata-kata alias menulis. Semua-semua itu tidak ada yang expert, tidak ada yang bisa dibilang 'jago', menyedihkan kalau saya rasa, dan sangat memuakkan sekali. Padahal you've got all times in the world dan lagi kamu merasa kamu sudah mengeluarkan kapasitas kamu seluruhnya, tapi tetap saja hasilnya 'nothing', it's feels like shit, isn't it?!

Ini seperti sebuah disease, sebuah penyakit bernama 'biasa' atau 'reguler', tapi kalau memang itu sebuah penyakit saya penasaran juga ingin tahu nama penyakitnya apa? keren gak ya, seperti, schizoprenia, atau obsessive-compulsive, atau voyeurism, atau apalah yang terdengar asing di telinga tapi nyaman di hati (naon lah!). Tapi apalah arti sebuah nama, yang penting kan niatnya. Sialan, siapa juga yang ingin seperti itu, pakai niat segala lagi, memangnya mau sholat.

Kalau memang ini bukan sama sekali suatu penyakit, atau hanya saya saja yang terlalu melebar-lebarkannya, lalu kesimpulannya apa? sebuah 'rarasaan' hungkul, hanya sekedar sugesti saja. Masih belum pantas untuk di diagnosa sebagai penyakit, apalagi diberi nama?
Terus apa, jadi kenapa bisa seperti ini--- (Tunggu, perasaan saya niatnya mau mendeskripsikan tulisan ini dengan nada marah-marah, kenapa nadanya jadi riang. Komedi?! Eat me lah!)
Kalau memang hanya sekedar pikiran di otak saja, bukannya penyakit seperti schizoprenia juga berawal dari otaknya juga? Yang mempengaruhi kinerja otaknya juga. Tapi---

Sudah ah--- cukup saya menyerah, mungkin saya memang tidak dilahirkan untuk menjadi dewa gitar, ataupun maestro piano seperti Mozart, ahli komputer seperti Bill Gates atau Mark Zuckenberg, ataupun penulis handal layaknya Hemmingway atau Truman Capote. Tidak. Tapi, saya ditakdirkan untuk satu hal, yaitu--- menjadi penikmat saja alias penonton, bukannya semua hasil karya itu idealnya ada pencipta lalu mendapat apresiasi dari yang tidak bisa mencipta alias orang biasa-biasa saja, ya, simbios mutualisme lah. Tapi semoga diluar sana ada juga manusia-manusia dengan 'Penyakit' sama seperti saya ini, biar saya tidak merasa bahwa hanya saya sendiri orang bodoh di dunia ini. Amin.

* ) Tambahan : yang paling benci menjadi orang dengan penyakit 'Biasa' ini adalah, kecenderungan untuk tertarik ke berbagai hal, gampang sekali terpukau akan sesuatu hal, ketika mencoba untuk dilakukan... Te Tot... hanya bisa biasa-biasa saja. Menyebalkan.

* ) Tambahan kedua : ada pepatah mengatakan. "Kejarlah ilmu sampai ke negeri China--- tapi kalau bodoh, cukup sampai ke Malaysia saja! hahaha."


* tulisan macam apa ini?!

Engkau Musuhku Malam Ini

Bantingan pintu itu jelas-jelas keras, jelas-jelas terdengar seperti suara geledek, tapi Indra acuh tidak acuh bahkan ia tidak peduli kalau saja pintu itu roboh lalu hancur berkeping-keping atau rumahnya ikut roboh sekalipun. Ia sudah sangat marah tanpa harus mempedulikan hal yang lain pikirnya, sambil terus berjalan mondar-mandir di teras rumahnya, ia terus meracau tidak jelas, mengeluarkan kata-kata yang terdengar seperti komat-kamit. Kemudian ia merogoh saku celananya, mengeluarkan sebungkus rokok dan mengambil sebatang rokok filter didalamnya lalu menaruh di sela-sela bibirnya, ia mencari-cari korek didalam celananya, merogoh-rogoh sambil terus komat-kamit tidak jelas, dia mengeluarkan sekotak korek api batangan lalu menyalakan rokok yang sudah sedari tadi berada di bibirnya.
Ia masih saja terus uring-uringan tanpa henti, dia bersandar di tembok. Rumah tua dengan gaya arsitektur art deco, masih dengan kursi-kursi dan meja kayu yang modelnya sudah tidak lagi diproduksi jaman sekarang, ia berada di sebelah kursinya itu, hembusan asap rokok langsung berbaur ditelan angin yang cukup dingin dan cukup kencang malam ini, ia terus menyedot rokok itu tanpa ampun tampak seperti orang kesetanan.

Tak lama ia mendengar pintu depan itu terbuka, suara engsel yang bercicit yang harusnya sudah ia beri oli agar tidak mengeluarkan bunyi yang menyebalkan. Muncul dibalik pintu sesosok wanita anggun, masih cantik untuk umur yang sudah kepala tiga. Ia adalah Mayang, istri dari Indra untuk sekitar 7 tahun ini, dengan suara yang sedikit bergetar Mayang lalu berkata. "Kamu jangan seperti ini mas, jangan jadi malah marah-marah, terus---"
Indra hanya terdiam, dengan mata yang menusuk bagai elang, air muka yang mendidih, ia tidak mengeluarkan suara barang sekata pun, Mayang menangkap ia tidak perlu lagi meneruskan kata-katanya, suaminya sudah sangat marah malam ini. "Kamu pikir pikiran kamu itu bisa aku anggap normal---bisa aku anggap ide yang brilian. Kamu gila, kamu pikir aku sudah cukup tidak waras." Hening sejenak, Mayang tidak langsung menanggapi perkataan suaminya. "Lalu bagaimana caranya kalau kamu pikir ide aku itu buruk mas, bagaimana...?!"

Tidak mempedulikan kata-kata istrinya, Indra mengeluarkan lagi sebatang rokok dalam saku celananya, ketika Indra menyalakan rokok, pancaran api dari korek batangannya menerangi wajahnya barang sedetik, Mayang bisa melihat raut muka Indra yang kurus, kulit yang agak terbakar matahari. Sedetik Mayang merasa sangat kasihan dengan nasib suaminya, Indra memang pekerja keras, ia memang tidak pernah lari dari tanggung jawabnya sebagai seorang suami dan seorang ayah untuk ketiga anak perempuannya yang masih kecil-kecil, sosok Indra sewaktu pertama kali Mayang bertemu dengannya memang sudah seperti ini, tapi ada perasaan yang berbeda sesudah ia menikahi atau lebih tepatnya mencintai seseorang yang bernama Indra yang sedang berdiri di depannya dengan mengeluarkan aura marah yang cukup kentara.

"Kalau kamu tidak mau dengan ide aku mas, ya tolonglah kamu sedikit kurangi keidealisan kamu itu di kantor. Coba seperti rekan-rekan kamu itu!" Indra sudah sangat sangat murka sekarang, ia seperti sedang terpanggang di bara api yang sangat panas.
"...Aku sudah bilang seribu kali ke kamu---orang-orang di kantor aku itu babi semua. Mereka itu orang-orang bodoh, yang kerjaannya tidak ada tapi menuntut untuk terus dapat bonus terus kenaikan gaji. Walaupun aku ini cuma seorang pns, aku tidak mau menjadi orang yang picik seperti itu---aku punya harga diri May..."
Dengan sigap Mayang memotong, "Terus mau kamu apa, kamu pikir dengan harga diri, kita bisa ngasih makan anak-anak kita, kita bisa bayar iuran sekolah mereka, pikir dong mas pikir---"
"Kamu pikir aku sekarang tidak sedang berpikir, aku ini tiap hari mikir May, aku---"
Mayang secepat kilat memotong kalimat suaminya. "Terus mana hasilnya, mana aku tanya, gaji kamu itu sangat pas-pasan mas---hanya bisa menghidupi sepuluh hari untuk kita berlima ini!"
Indra kembali terdiam tapi tetap raut mukanya masih murka, ia ingin sekali meledak, ia ingin sekali membenamkan kepala di dalam tanah, tanpa omongan-omongan dari istrinya pun ia sudah cukup pusing dengan segala macam pikirannya sendiri.

Indra lalu bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apa salah menjadi orang yang jujur, apa salah menjadi orang yang mendapat haknya dari hasil kerjanya sendiri, bukan uang buta, bukan uang haram, apa ia harus menjadi seperti orang-orang lain yang dengan bangganya mendapat uang bukan dari hasil kerja kerasnya, bukan dari keringatnya sendiri.
"Mas... mas, kamu kok malah ngelamun sih?" Indra tertunduk lesu, dengan pancaran mukanya yang berharap agar Mayang berhenti bicara.
"Aku sudah sangat pusing malam ini May, aku mohon besok saja kita lanjutkan obrolan ini."
Tampak Indra mulai mereda, tungkainya sudah sangat letih, sudah banyak beban mengendap disana, tapi bukannya malah mengiyakan perkataan suaminya Mayang malahan membombardir Indra dengan senapan mulutnya.
"Tidak bisa mas, kita sudah sangat kekurangan uang, tidak bisa santai-santai saja, ya sudah kamu nurut saja dengan---"
Giliran Indra yang memotong kalimat Mayang. "Cukup May... cukup. Kamu pikir dengan kamu menjual diri kamu ke mantan pacar kamu itu, bisa aku tolerir, aku bisa dengan santai hanya diam saja."
Angin sudah mulai sangat dingin, wajar, jam sudah memukul 11 malam.
"Hanya sekali mas, dia berjanji bakal memberi kita suntikan dana 20 juta, anggap saja aku hanya pergi jalan dengan dia, tidak tidur dengannya."
Mata yang asalnya sudah tidak cukup kuat untuk terbuka, dan mulut yang sudah mengatup, kini malah membuka sangat lebar.
"Harga diri kamu... kamu taruh dimana May, kamu pikir suami mana yang rela istrinya bersetubuh dengan laki-laki lain dan hanya bisa pasrah, kamu sudah tidak punya otak ya May..."
Dengan sangat murka dan setengah berteriak. "Karena aku punya otak mas, aku harus memberi makan anak-anak kita, kamu pikir dengan gaji kamu yang hanya 2 juta itu cukup buat menghidupi kita mas, menghidupi anak-anak kita."
"Aku tidak tahu May, aku cape!" Indra berkata tetapi yang terdengar seperti sebuah bisikan lirih.

Indra selalu saja luluh untuk segala omongan yang keluar dari mulut istrinya, ia sangat sangat mencintai istrinya dan sangat mencintai ketiga anaknya, suara burung hantu di kejauhan samar-samar terdengar membuat bulu kuduk terbangun, malam sudah lebih jauh jauh berlari, disaksikan bulan yang malu-malu mengintip dari balik awan, dan suara-suara angin yang bergesekan dengan pepohonan.
Indra hanya bisa menangis di obrolan malam yang cukup kelam ini, ia sudah tidak sanggup untuk berkata apapun lagi, ia terjatuh lesu di atas kedua lututnya, mengutuk kehidupan yang sangat sangat tidak adil untuknya, untuk keluarganya.

*Cimahi, 27 Januari 2009