Senin, 30 November 2009

Seorang Pria dan Sebuah Kursi Goyang

Dingin...
dingin sekali, tulang-tulangku seakan beku menggigil, gigiku bergemertak tak teratur mengeluarkan suara seperti kursi kayu tua yang dihentak-hentakkan dengan cepat, degup jantung seperti yang tak bernyawa. senyap. Malam ini adalah malam ketujuh langit menghujani bumi seperti bom tiada henti, tidak pernah berhenti hanya melamban tapi tetap basah.
Gulma-gulma sudah mulai meliar keluar dari dalam ranah. Merimbun.
Jalanan yang lembab serta meluber dan warna hijau di pinggiran. Melumut.
Angin dingin yang berhembus seperti menyembunyikan pasukan berpedang tidak nampak menusuk-nusuk daging. Sudah cukup lama bulan tidak menampakkan batang hidungnya di muka langit, yang biasanya memperlihatkan seorang nenek yang sedang menyulam atau sang kelinci pengelana, sama halnya dengan para bintang yang biasanya genit, berkedap-kedip. Tidak ada. Lama awan kelabu kehitaman itu mengatapi
rumah bumi ini, bayangannya membuat samar antara siang menjadi malam, dan malam menjadi sangat malam. Gelap. Ditambah rintik-rintik hujan seperti ini, keadaan menjadi semakin mencekam.

Uap dari secangkir teh panas itu meliuk-liuk di udara malam ini, melayang-layang hingga akhirnya lenyap berbaur dengan udara, tersudut di sebelah saya, sebuah meja kecil yang diatasnya tergolek satu piring kue, satu vas yang hanya ada satu bunga, bunga mawar putih, dan secangkir teh panas yang entah berapa lama lagi menjadi panas.
Saya duduk di atas kursi goyang tua yang tersematkan sebuah bantal sebagai alas, saya senang mendapati diri saya berada di depan rumah, di teras ini, bagian dari rumah ini lah tempat kesenangan saya untuk sekedar membunuh waktu. Saya berpikir kenapa hujan terus menetes tanpa henti, aneh saya pikir, tapi mungkin ini hanya fenomena alam biasa. Lagipula apa yang bisa saya kerjakan di usia senja saya seperti sekarang, usia yang sudah bertanduk 7, tubuh yang sudah reot, panca indera yang sudah menuli, membuta, saya kira inilah kegiatan utama saya sekarang, duduk di kursi goyang tua, sambil hanya memandangi pemandangan dan banyak melamun.

Kekasih saya sekaligus istri saya sudah terlebih dahulu meninggalkan saya di dunia ini, belahan jiwa saya, cinta sejati saya, dia adalah wanita paling tepat dan paling hebat yang saya pilih untuk menjadi pendamping saya di kehidupan yang singkat ini, betapapun saya tidak ditinggal sendiri di dunia indah ini, saya tinggal bersama anak perempuan saya, anak terakhir dari ketiga anak perempuan saya, ia bernama Malina, Malina Rarasati, dia adalah anak yang cantik, ia sudah menikah, ia dinikahi oleh seorang pria yang baik, sangat baik justru, penyayang, dan sangat bertanggung jawab, saya tidak peduli apa profesinya, saya bukan manusia sedangkal itu, tapi pastinya pekerjaanya halal dan mampu menghidupi anak perempuan saya dan kedua cucu kembar saya yang lucu, saya bahagia bersama dengan keluarga anak saya ini, saya merasa terus hangat, saya senang Malina memilih pria sempurna dalam hidupnya.

Ketika akhir pekan kadang-kadang anak perempuan saya yang nomor satu yang tinggal di Jakarta datang menengokku, dia bernama Maharani Rarasati, ia berkunjung bersama suami dan anak-anaknya, tapi anak perempuan saya yang nomor dua jarang mengunjungi saya di Bandung, karena ia ikut bersama suaminya yang berkewarnegaraan Inggris, dan dia bernama Mayasita, Rarasati nama belakangnya pastinya, saya rindu dengan dia, kami terpisah jarak ruang dan waktu, tapi kadangkala dia menelepon dari sana hanya untuk menanyakan kabar, saya, Malina keluarga, Maharani keluarga, atau kadang-kadang ia bercerita tentang perasaannya, semua anak saya memang terbiasa berbagi isi hatinya dengan saya dan mendiang istri saya, sekarang hanya bisa kepada saya, tak ada batas usia, saya nyaman bisa menjadi pendengar dan motivator bagi ketiga anak saya.

Saya sangat merindukan seluruh keluarga saya berkumpul, terutama istri saya, kami adalah keluarga paling bahagia di muka bumi ini, keluarga paling bahagia yang pernah diciptakan tuhan, saya rasa. Saya menikmati ketika pikiran ini menerawang jauh ke masa lampau, terutama ketika saya seperti sekarang, hanya duduk di kursi butut ini sambil melihat jalanan tepat seberang halaman rumah anak saya, tapi hujan yang sudah berlangsung 7 hari ini seperti membawa kesan aneh, bahkan mungkin seperti hendak menyampaikan suatu pesan, pesan yang aneh pastinya, selama 7 hari dan tepatnya pada malam hari, keadaan menjadi sedikit berbeda lewat kacamata saya, entahlah bagaimana, tapi nalar saya mengatakan ini berbeda.

Selama 7 hari ini dengan hujan terus mengguyur, saya disajikan pemandangan yang aneh, seperti, saya melihat kucing berseliweran, saya tahu apa anehnya dengan kucing, tapi, mereka semuanya berwarna hitam, hitam kelam, dan mereka mengeluarkan suara miaw yang miris, seperti orang kesakitan. Lalu beberapa malam yang lalu, saya melihat banyak orang-orang yang mengenakan baju putih, seperti bukan baju, tapi seperti daster dengan ikatan di beberapa tempat di tubuh mereka, dan yang paling aneh menurut saya adalah cara berjalan, cara berjalan mereka melompat-lompat pelan, seperti merasakan panas bila bersentuhan dengan tanah, bertanya-tanya saya jadinya. Dan setelahnya seringkali dibelakang para manusia yang berbaju putih itu, mengikuti beberapa orang lagi yang berbeda, mereka tinggi besar, saya tahu itu karena mereka hampir setinggi gerbang rumah anak saya yang lebih dari 2 meter, dan mereka berbaju dan berkerudung hitam, rasa penasaran membius kepala, tapi toh saya tidak beranjak dari kursi ini.

Ketika baru saja saya melihat salah satu orang yang berbaju putih itu dipecut berulang-ulang oleh orang yang berbaju hitam, niatnya saya hendak mengahampiri, tapi tiba-tiba pintu depan terbuka, dan keluarlah anak perempuan saya, Malina, tapi ia tidak melirikku, kemudian ia duduk di tangga teras, ia hanya terdiam, dan ketika saya hendak mau menghampirinya, pintu depan itu kembali terbuka, kali ini suami anak saya, kemudian ia duduk disamping Malina, dan ia pun tidak menghardik aku yang duduk di kursi goyang ini, kenapa saya pikir, apakah mereka memang benar-benar tidak melihat saya, lalu keluar kalimat dari Malina yang memecah kesunyian, ia berkata,

" Bapak pasti menyukai sekali malam ini, langit sangat cerah, serangga-serangga bersenandung dimana-mana, damai sekali." Malina tersenyum pada langit, lalu melihat ke suaminya.

aneh....?!, saya pikir.

" iya, ayah juga yakin bapak pasti sangat menyukainya, terutama malam ini, malam ini memang cerah sekali, ditambah dengan benderang cahaya bulan purnama, memang tenang sekali."

hah...?! cahaya bulan purnama...?! saya berkata dalam hati.
ketika saya baru saja mau bersuara, Malina kembali berkata,


" saya kangen sekali dengan bapak, sama ibu juga!", terlihat jelas oleh saya air mengalir dari sela matanya, lalu suami Malina memeluknya dan mencium kepalanya.

" saya tahu sayang, tapi kamu ngga boleh seperti ini, kamu harus ikhlas, bapak pasti sudah senang di alam sana, mungkin beliau sudah ketemu dengan ibu, sekarang kan sudah hari ketujuh semenjak bapak pergi meninggalkan kita!"

kata-kata itu...kata-kata itu tepat berakhirnya dengan gemuruh suara guntur yang membelah langit dan membelah hati saya, saya tidak percaya, jadi sudah tujuh hari saya meninggal dunia, tapi kenapa...kenapa?!, saya sedih sangat sedih, tapi aneh tidak menetes air mata dari kelopak mata saya?

" kita duduk di kursi ya sayang, kamu duduk di kursi goyang kesukaan bapak, yah!!!"

" ayah sudah membuat teh panas sebelumnya, makan juga kue nya ya sayang, biar hati kamu tenang, biar bapak juga tenang di sana!"

Malina pun menuruti apa yang dikatakan suaminya, ketika Malina hampir saya duduk di pangkuan saya, dia dengan mulusnya duduk kursi goyang saya ini, dia menembus tubuh saya, dan saya kemudian berdiri, saya baru sadar bahwa saya ini roh, roh yang melayang-layang selama 7 hari ini, dengan alam yang sama tetapi berbeda suasana dan penglihatan.

Yanuar Kapriradela
Cimahi, 14 November 2009

Jam berapa kamu akan datang ke rumahku ?!

Jam berapa kamu akan datang ke rumahku ?! apakah sore ini ataukah besok pagi, saya akan menunggu kamu dirumah, saya tidak akan kemana-mana, saya takut ketika saya pergi barang sebentar ketika itu pula kamu datang .

Sekarang baru jam 10 pagi, tidak lama sepertinya bila sampai sore hari menunggu atau sampai besok pagi, tidak apa-apa kok saya tidak keberatan, sekiranya kamu akan datang jam berapa? Sekarang saya harus mengerjakan apa alih-alih menunggu kedatanganmu, jam berapa sih kiranya kamu datang?

Aku sudah kelihatan tidak sabar ya, aku sabar kok sebenarnya, kamu tidak percaya aku sabar ya, kenapa juga aku harus tidak sabar, aku bakal sabar kok tenang saja. Aku hanya ingin tahu saja kamu datang jam berapa sepertinya? Sore ini kan, atau besok pagi. Aku sabar tahu tidak kamu, hanya mulut aku saja ini yang gatal ingin ngomong terus, kalau aku sendiri sih aku pasti sabar.

Kamu seperti apa ya sekarang, sudah lama aku tidak pernah melihat wajah kamu, sepertinya kamu kelihatan lebih dewasa mungkin ya, tapi kamu tetap menarik seperti pertama aku melihat kamu semoga. Kira-kira sore ini kalau kamu datang, jam berapa ya, jam 4 atau jam 5 sore ya? Aku mandi lagi tidak ya nanti sore, ngomong-ngomong aku sudah mandi dari tadi pagi sekali, tapi sepertinya aku bakal mandi lagi kalau kamu datang.

Tapi, jam berapa kamu akan datang kerumahku? Kalau besok pagi kira-kira jam berapa sepertinya, pagi buta atau sudah agak siangan ya, kalau pagi sekali aku sudah bangun belum ya? Aku takut ketika kamu datang aku belum bangun, atau sedang mandi di kamar mandi belakang, kalau kamu datang terus bagaimana? Kalau seperti itu, aku pikir aku tidak akan mandi, tapi nanti kamu bilang aku bau.

Kalau nanti sore aku sedang apa kiranya ketika kamu datang ya, aku takut aku ketiduran ketika menunggu kamu, nanti kalau aku tidak mendengar suara ketukan pintu bagaimana? Aku akan minum kopi beberapa gelas saja supaya tidak mengantuk ketika menunggu kamu, kira-kira kamu akan datang kerumah aku jam berapa ya?!

Ayo jujur pasti kamu menganggap aku sudah tidak sabar ya, tidak kok, aku masih sabar sampai sekarang, kamu datang pakai baju apa ya? Apakah bakal memakai baju warna biru muda kesukaan kamu itu, atau warna hijau kesukaan aku ya ? Tapi kamu akan datang sore ini atau besok pagi ya.

*Cimahi, 16 November 2009

Jabat Tanganku

Siapa kamu?!
Siapa sebenar-benarnya kamu?!

Tidak pernah ada kesempatan untuk jauh lebih mengenalmu
Aku hanya bisa mengenal lewat karya-karyamu, tidak pernah lebih

Melalui tulisan-tulisan lah aku bisa mengenalmu, hebat aku pikir.
Tulisan-tulisanmu membawa pikiranku lebih mengenalmu,
mengetahui sifatmu, mengetahui apa yang sudah kamu kerjakan, mengetahui apa yang kau pikirkan dan terpikirkan olehku

Melalui gambar-gambar kameramu lah aku bisa tahu,
siapa teman-temanmu, apa yang kamu lakukan bersama mereka,
belahan bumi dimana kau dan bayanganmu pernah berada

Aku berhasrat untuk lebih lagi dan lebih lagi mengenalmu,
ayolah jabat tanganku, jabat erat kedua lenganku,
hanya cara itu aku bisa menembus jalan pikiranmu,
hanya jalan itu kamu bisa mengetahui bahwa aku bersahabat, aku baik

Kita tidak pernah berbincang, apalagi bercanda tawa
kita hanya sebuah partikel yang berjauhan
sebuah elemen antara negatif dan positif, kau di utara aku di selatan

Tapi aku rasa kita serupa, bersama dalam satu cubicle tak terbatas
kita sebuah kesatuan, berada dalam satu pemijahan beda kolam
kita satu spesies, satu ordo, hanya lingkungan saja yang berbeda,
tapi aku sudah pasti, aku baik

Maka tidak merugi engkau menjabat tanganku
tak akan merugi kita bersenggama dalam pikiran, bicara
ayo, jabat tanganku, jabat erat kedua tanganku

* Saat semua kembali terbentuk, aku hanya sendiri
Cimahi, 19 November 2009

Bertumpuk-tumpuk, Bernyawa, Manusia, dan Putih

Lantai ini tak pernah sedingin ini sebelumnya,
Tembok ini tak pernah sesempit sekarang,
Atap ini pun tak pernah serendah seperti sekarang,
Kursi, meja, kasur, komputer, lemari, gitar,
Seperti sebuah seni kolase yang bertumpuk-tumpuk.

Ruangan ini tidak bergerak, ruangan ini dingin
Menyempitkanku didalamnya, membeku
Ruangan ini tidak bernafas, tak berkata pula
Ada aku yang terjebak, lemah tak bernyawa

Tidakkah engkau mendengar rintihannya
Meraung-raung memohon cerita segar
Ceritera tentang yang apa terjadi di alam semesta
Tidak sedikit pun kah kau mendengarnya, manusia

Mimpi ini berubah arah, merubah haluannya
Beranjak dari suatu kisah tak terarah
Membentuk sebuah wajah dari coretan crayon
dan hanya ada dua warna,
hitam...(menghela) dan putih.


* Menghitam darah ini, membujur kaku dalam poros stagnan
Cimahi, 13 November 2009

Jumat, 13 November 2009

Kincir Angin

Sad...Dissapointed...Mad...desperated...

curious...headache...laugh...sleep...

smile...pensive...think...cry...

awake...alone...pray...quite...


Siklus fraktal yang memberitahu tentang analogi sisi perubahan anomali hati, yang tak kunjung usai. Artificial hidup, hanya itu yang bisa disajikan hangat dengan secangkir kopi panas, tanpa tertendensi animo huru-hara yang lapuk yang berkarat tak kentara.
Inikah awal dari masa bifurkasi yang fragmentif, awal dimana adalah akhir, dan akhir adalah kebahagian, perspektif demikian yang mengaburkan pandangan akan tajamnya dan kejinya hidup, apa yang mau dilepaskan sekarang, semua terasa begitu lamban, waktu yang mengendur bak karet gelang, tik...tok...tik...tok...
Terasa detik ini begitu menyesatkan, bayangan dari pendulum imajiner yang terus bergerak, bergerak dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Hiptonis apakah yang hidup coba terapkan kepada saya,teori-teori yang diinvasikan, terasa sangat murni, mengalir bagai air sungai yang penuh dengan cahaya menyilaukan, mungkinkah ini hanya fatamorgana, ataukah realita kongkrit tentang hidup dan mati, terasa sangat membingungkan sekali, halo, adakah orang lain yang sedang berjuang bersama saya sekarang, adakah manusia lain yang ikut tersesat juga ?!
Ah, peduli setan dengan orang lain, mereka pun sepertinya sama tidak mengindahkan ada orang lain yang seperti mereka, jangan salahkan aku yang bersifat skeptis seperti ini, ini hanya refleksi yang aku keluarkan.
Bingung memang, tapi apa sih yang tidak membingungkan di dunia ini, coba ?! apa ?!
ya..ya..ya..saya sudah mengetahuinya, problematic memang.
Antara eksis dan tidak berwujud...abstrak!

Coba dirunut kembali, petunjuk-petunjuk apa yang terlewat, hanya momentum yang berubah menjadi kenangan kah ?
atau kah ada seorang anak kecil yang sedang mencoba untuk menyeberangi sungai itu, biarkan..biarkan anak itu mencoba instuisinya, tajamkan lagi pikiran.
Oh, saya mohon berhenti berbisik lirih kepada saya, saya sudah cukup miris, kenapa tidak sekalian saja kau teriak, teriakan, lantangkan organ - organ yang sudah lama terlelap di balik jasad busukmu itu. Kaburkan hasrat tidak sabar yang berdalih mencoba memberi apel merah segar nan ranum, tapi beracun.
Pikirkan putih disaat hitam mendominasi, pikirkan oase yang begitu menyenangkan diantara beribu-ribu mil hamparan pasir gersang, stimulus lagi terus dan menerus, dan jangan pernah menyerah, bifurkasi itu akan menemui satu titik persimpangan, ya, satu tolak balik yang bahagia mungkin, ataukah malah berakhir sebaliknya ?!
Oh, tidak hitam ini mulai menjalar lagi, putih ini kehabisan nafasnya, ia mulai terbenam di lumpur hitam yang menjijikan, pikirkan lagi putih, pikirkan lagi terang yang menjanjikan.

ahhh, rasa ingin meledak-ledak, ingin sekali terbang walaupun tak ada sayap, hanya inilah yang aku percayai sampai sekarang, hanya inilah yang mengantarkanku sampai pada titik darah penghabisan...Cinta !

A Tales of Rubber Duck

Pada suatu waktu di suatu tempat, tersebut sebuah kisah dari seekor bebek karet berwarna putih. Yang seluruh hidupnya ia habiskan dengan mengarungi arus-arus air dalam selokan bawah tanah dunia.

"apa yang harus aku lakukan dengan waktu ?",
Acap kali pertanyaan itu menggaung di kepala karetnya. Apakah ia harus menampar-namparnya, atau mengiris-ngirisnya dengan pisau hingga tercecer, ataukah membelainya dengan penuh cinta dan kelembutan, begitu lembut ?! begitulah yang ia pikir.
Tapi sering kali sang takdir berucap lain, ia berujar kata-kata yang terkadang memekakan telinga.

Ia terombang-ambing oleh arus air yang entah membawanya kemana, terantuk-antuk akan batasan-batasan hidup, kadang ia menemukan suatu peraduan yang bersih yang airnya wangi dan bercahaya terang, saat itulah ia merasakan belaian lembut kehidupan.
Manisnya udara yang merasuki rongga-rongga dari tiap jengkal tubuhnya, kadang ia pun bernyanyi lagu yang sering ia tembangkan, yakni "wouldn't it be nice",

"...Wouldn't it be nice if we were older
Then we wouldn't have to wait so long
And wouldn't it be nice to live together
In the kind of world where we belong..."


Ia bernyanyi dengan senyum terukir di wajah karetnya, tidak lupa sambil menggoyang-goyangkan kepala kecil karetnya.

Tapi ketika ia berada pada satu persimpangan dan mengecup sebuah tempat yang gelap, kotor, dan berbau busuk, waktu mengendur dengan panjangnya, yang tiap detiknya ia merasa bahawa ia dikutuk atas hidupnya. Ia memebersihkan pipinya yang ternodai dengan air mata, air mata yang memberinya damai, tetapi harus ia bayar dengan darah, warna yang beracun.
Kebahagian yang ia sentuh harus ia bayar tiap sen nya, hidup tidak adil pikirnya, memang hidup tidak adil untuknya.

Adegan - adegan akan lembaran - lembaran hidup terasa berulang-ulang, seperti adegan yang direka ulang. Deja vu.
Ya, deja vu yang sudah kadaluarsa, siklus ini, kejadian ini terasa begitu basi layaknya susu yang disajikan malam hari tetapi baru diteguk di pagi hari, asam.

Ia tidak menyesali hidupnya yang sekarang ini, ia sedang menjalani mimpinya, yakni. Hidup bebas. Tidak terkekang apapun dan siapapun, dan tidak pula mengekang, ia begitu hidup, kejadian-kejadian atas hidup yang menimpa dirinya adalah murni atas kehendaknya sendiri dan kehendak Tuhan tentunya.

Pernah satu waktu ia melewati selokan yang diatasnya berdiri sebuah kota yang megah, mungkin. Karena ia hanya bisa mendengar bunyi-bunyi yang tiada henti, dan suara alunan musik yang menggelegar. Sekonyong-konyongnya ia menemukan seekor bebek karet wanita yang sama, yang sedang mengalir mengikuti aliran air selokan yang sama, mereka mengalir bersama, mereka kerap mengobrol, membicarakan tentang tempat-tempat indah yang mereka pernah lalui, bercanda ria, tertawa-tawa bersama. Kala itu ia merasa sangat bahagia tidak harus menjalani hidup ini sendirian, oh...ia bersyukur akan hidup.
Tetapi rupanya takdir berkehendak lain, di satu cabang aliran selokan, bebek karet wanita itu mengikuti aliran selokan ke arah kanan sedangkan ia mengalir ke arah sebaliknya.
Kembali terucap kata dari seekor bebek karet itu, hidup tidak adil.

7 bulan berlalu.

Bebek karet itu telah mengalami fase-fase hidupnya, ia telah kuat, ia telah sangat siap dengan apa yang akan takdir sajikan di depan matanya.
Guratan - guratan atas apa yang pernah ia alami terukir jelas di wajah dan seluruh tubuhnya, ia mulai lusuh, warna tubuhnya tidak secemerlang seperti awal, penglihatannya pun seakan memudar,
"takdir telah melukis karyanya di sekujur tubuhku",pikirnya.
Merangkak, telah ia hadapi.
Tenggelam, pernah ia lalui.
Tersenyum paling manis, pernah menghampiri.
"apa lagi yang waktu akan beri untukku ?!"

Tanpa sadar pengalaman yang raksasa telah menunggunya didepan, telah menantikan seekor bebek karet yang telah berjuang hingga saat ini. Sang bebek karet itu hanya menantikan mati, hanya ingin mengakhiri perjalanan ini dengan damai dan serba putih.
Ia telah cukup lelah mengarungi hidup semata wayangnya ini. Tapi.
Pusaran air didepan tak bisa ia hindari, ia terputar - putar bersama air dan segala apa yang dikandunganya.
Ia tenggelam, tetapi ia bisa tenang bernafas didalam air.
"inilah saatnya !", ia duga.
Lama ia menutup mata, menantikan ajal hidupnya dengan tenang,
tak lama waktu berselang, ia membuka bola matanya.
Ia takjub dengan apa yang dilihat oleh kedua matanya,
"apakah ini surga, apakah ini yang disebut orang kehidupan setelah kehidupan ?!",pikirnya.

Hamparan air yang sangat luas telah terbentang jelas dihadapannya,
Laut.
Sejauh ia menerawang, hanya hamparan air yang sangat luas yang ia lihat.

"Oh, takdir ingin aku masih berjuang melawan hidup, aku harus siap dengan apa yang telah diberikan untukku !",

Bersambung.

Artwork By Aldmodt "Duck In Sewer"

Tuts Hitam dan Tuts Putih

Derap jemari itu tak lagi berirama
Lentik - lentik tak lagi menari seperti kemarin dulu
Jiwa ini perlahan melepas dari kerangkengnya,
meninggalkan jasad ini dengan penuh kebisuan

Tak ada lagi melodi yang mengalun indah
Tak ada lagi nada - nada yang menari dengan lincah
Penjara lima baris tak lagi mendaulat
Romansa nada yang tercipta sangat sentimentil
Irama waltz hanya tinggal kenangan
semua itu pergi,

Aku ditinggalkan oleh pemilikku lampau
Ditempa dalam sebuah ruangan sesak dan berbau pekat
Aku tak lagi indah seperti dulu,
tak lagi berbahasa melodi seperti dulu

kekasih baru ku kini, mulai merawatku,
mebersihkan ku dari debu yang menempel setebal satu inci
Kawat - kawat yang sudah berkarat mulai diganti baru
Tuts berbahan kayu mahoni mulai menghiasi menggantikan tuts yang cacat tua

Aku mulai hidup kembali, tapi ini hampa
Saya butuh ruh untuk saya kembali
Saya butuh resital tari jemari untuk meniupkan arwah itu

Aku dipajang di ruangan depan bertembok kaca tembus pandang ke dunia luar,
bersama puluhan bangsa aku lainnya
Orang - orang mungkin melihat papan kayu tergantung di depan ruangan ini, yang berbunyi :
" Toko Alat Musik Si Tua George "

Aku melihat orang berlalu lalang di depanku,
berhilir mudik tanpa menilikku
tak ada yang mencoba untuk menghampiri
Tak ayal aku pun kembali bersedu

Suatu sore yang dingin bersalju,
bel pintu toko ini berbunyi menandakan seseorang telah masuk
tiba - tiba ada yang menekan gigi - gigi putih hitamku,
memainkan jari jemarinya di tubuh baruku

Ia seorang gadis kecil berpenampilan lucu,
lalu ia mencumbuku dengan mesra dan indah
ia tak seperti perawakannya yang mungil,
jari jemarinya mengkamuflase

"ya, ya teruskan", ujarku dalam hati
aku merasa aku semakin hidup kembali
aku merasa aku kembali ke dunia setelah hibernasi panjang yang membosankan

Gadis mungil itu memainkan beberapa nada - nada dan melodi, yang menyulut aku untuk kembali bernafas...

bersambung

layaknya tuts piano, hidup ini terdiri atas hitam dan putih.

Ini Bukan Prosa

Saat bintang bersanding dengan bulan, saat itulah aku memutuskan untuk membawa lari tubuhku ke dalam pekatnya malam. Terengah - engah nafasku terseok - seok seakan - akan inilah nafas terakhirku di bumi, saat terakhir zat oksigen ini berada di paru - paruku. Aku membawa tulisanku ini kedalam metaphora tak terbatas, tak terbelenggu, esensi yang tiada akhir. Kubiarkan mengawang, kubiarkan memekik dalam kebisingannya sendiri yang sunyi, takkan kubiarkan langit membentengi laju akal ini.

Aku pun sebenar - benarnya tidak tahu akan kemana coretan - coretan ini pergi, tak mengarah tujuan, tak menepi daratan. Tapi hasrat ini memuncak, siap memuntahkan isi magma panas yang terlama mengendap membisu. Saat - saat inilah yang aku tunggu dalam kurun waktu tak menentu yang membelenggu, yang memenjarakan imajinasi hanya untuk nasi.

Aku, kamu, mereka, tak akan bisa menghentikan aliran dahsyat intuisi ini, aliran yang memanggil untuk dilihat, untuk didengar, untuk sama - sama dihayati. Tulisan ini tidak mudah untuk dimengerti, tidak mudah untuk dicerna isi dan tujuannya, tapi tulisan ini berelegi murni. Membisik lirih, menyayat hati, dan mengeluarkan air mata, tulisan ini adalah sebuah demontrasi bathin yang berlarut - larut.
Tidak mudah memang, mengeluarkan rasa sakit ini dengan mulus, dengan begitu indahnya nan menyilaukan. Hasrat ini tertambat di ruang antara ribuan kata - kata dan ribuan visual yang menjadikan kalimat. Hikayat dari arti sebuah kesunyian dan keinginan yang besar, yang tiada tara akan sesuatu yang indah.

Catatan : gonggongan angin tak berdaya, sinar malam tak menyapa, ada apakah ini ?

Wajah Perempuan Ini

Ia lembut, tak sedikit pun cela
Ia selembut ice cream rasa vanilla, yang kelembutannya membekukan lidah untuk berkata.

Ia bercahaya, ribuan helai hitam indah menaunginya
Ia terbuat dari seluruh warna cahaya, ia menyilaukan semua mata yang menatapnya

Ia elok, tak terlihat cacat di lekuk - lekuknya
Ia telah diukir dengan segenap kemampuan Tuhan dan Tuhan sangat berhati - hati mengukir tiap incinya, ia begitu sempurna.

Ia cantik, saya tidak mempunyai cadangan kata - kata lagi
Ia begitu hebat untuk ditatap, ia begitu...ah, hilang lagi kata - kata saya untuk mengungkapkannya.

Kamu adalah hal yang paling indah yang tak bisa dilahap oleh kata - kata dan kalimat. Tidak perlu mata yang tajam, sepasang mata yang sudah rabun pun pasti bisa melihat kalau kamu cantik.

Kamu masterpiece sang pencipta, kamu mahakarya dari mahakaryanya yang paling indah, kamu tabu untuk dilihat apalagi untuk disentuh oleh sembarang manusia, karena kamu indah.

* belum rampung.

ps : didedikasikan untuk seluruh sahabat - sahabat wanita saya,sedikit ungkapan kata dari saya. Kalian adalah makhluk - makhluk hebat yang Tuhan bawa dalam kehidupan saya. Salute. Terima Kasih.Saya sayang kalian.

Kubangan

Sore hari ini adalah sore yang menyenangkan, hujan siang tadi cukup membasahi tanah-tanah kering yang sudah lama tidak dijumpainya. Oh, saya jatuh cinta sekali dengan bau tanah kering yang menguap dibasahi hujan, harum itu tidak akan pernah ditemui dimanapun dalam keadaan apapun lagi, hanya ketika air turun dari langit ke bumi. Tapi hujan telah berhenti sekarang, tergantikan sinar matahari yang bersahabat dengan kulit, coretan warna-warni yang terpampang indah di dinding langit, sisa-sisa hujan yang masih mengalir pelan dan jatuh dengan berirama dari atap rumah, pepohonan masih meneteskan tetesan air sesekali, dan tanah yang semula kering merontang berubah menjadi sangat lembek, basah, dan terdapat beberapa kubangan di sekitar.

Sore ini mungkin beberapa orang mengerutkan niatnya untuk bepergian, atau hanya jalan-jalan di sore yang indah ini, karena jalanan menjadi becek dimana-mana, entah mereka kebanyakan takut akan kotor atau takut akan hujan membasahi bumi kembali.

Tetapi tidak bagi beberapa anak-anak yang menjadikan tanah lapang becek berkubang menjadi arena bermain mereka, mereka tidak peduli akan basah akan kotor. Ada beberapa anak yang mengenakan kaosnya dan ada pula yang bertelanjang dada saja, seolah-olah sikap yang menantang, mengumandangkan bahwa mereka tidak takut akan tanah yang becek, bahwa tidak peduli kotor yang menempel, bahwa mereka bahagia.

Mereka tampak seru bermain sepakbola, yang lebih tepatnya mereka bermain lumpur ketimbang bermain dengan bola, wajah-wajah muda yang berseri-seri itu tidak pernah pudar dan seringkali meledak tawa-tawa mereka yang membuat orang lain pun tersenyum. Bola yang semula berwarna putih hitam cemerlang, kini didominasi warna coklat kehitaman yang berasal dari lumpur, bola itu ditendang oleh salah satu anak mengarah pada kawanan teman-temannya yang berkumpul di tengah lapang, lapang ini sebenarnya bukanlah lapang dalam artian sebenarnya, lapang ini adalah halaman rumah salah satu anak-anak itu yang tidak terlalu besar, mungkin bisa dibilang cukup kecil.
Bola yang tadi ditendang memuncratkan amunisi-amunisi lumpur yang menempel di sekujur karet bundar itu, alhasil beberapa anak terkena lumpur-lumpur yang melayang-layang di udara, tapi anak-anak yang terkena cipratan lumpur tidak nampak marah, malah sebaliknya tawa-tawa itu kembali menggelegar dan membahana di kumpulan anak-anak tersebut.

Ketika saya sedang menikmati tingkah laku anak-anak itu, saya kaget bola yang entah ditendang oleh siapa mengenai saya, dan saya pun terkotori oleh lumpur, saya tidak bisa marah dan saya tidak suka marah. Salah satu dari anak-anak itu berlari mendekat dan mengambil bola yang tergeletak tidak jauh dari saya dan kembali ke kawanannya tanpa berkata apa-apa, tidak apa-apa saya tidak marah.

"AHMAD KAMU BUKANNYA NGAJI, MALAH MAIN KOTOR-KOTORAN...PULANGGG!!
!",
seorang ibu dengan air muka yang garang dan menggenggam sapu di tangan kanannya, berkata atau lebih mendekati berteriak kepada salah satu dari beberapa anak yang sedang tertawa kencang, lalu si anak yang merasa namanya dipanggil, dengan segera mengambil kaosnya yang tergeletak ditanah dan segera berlari dengan wajah takut menghampiri ibunya, mungkin hujan atupun lumpur tidak sama sekali membuat takut dia tapi tidak dengan sosok ibunya yang sangat menciutkan nyalinya.

Anak-anak yang lain tidak menggubris dengan salah satu temannya yang dimarahi, malahan mereka melanjutkan kembali permainan bola lumpurnya. Mereka seperti tidak mengenal lelah, jangankan lelah menghela nafas pun sepertinya tidak, malah cekikikan-cekikikan yang keluar dari mulut mereka.

Hingga sang matahari yang tinggal setitik lagi lah yang membuat anak-anak itu berhenti, dan lagipula terdengar sayup-sayup lirih suara adzan maghrib yang berkumandang, mereka mulai memunguti kaos dan sandal yang tercecer di tanah, satu persatu dari mereka meninggalkan tanah lapang itu sambil sesekali bercanda, anak yang sudah aku tunggu dari semula berjalan ke arahku dan lalu menghampiriku, salah satu temannya memanggilnya lalu ia menoleh kebelakang lalu berteriak kepada teman-temannya,
"besok kita main lagi ya teman-teman!!!",
kemudian ia berpaling kepadaku, menaikiku, memegang kedua besi yang menyabang di diriku, dan lalu mengayuh kakinya pada kedua pedal yang menjadi bagian tubuhku, berputarlah kedua kaki-kaki karet bundarku, melesat dengan cepat di jalanan yang basah, dan dingin.
"ayo kita pulang sepedaku!"


* Teras dari sebuah rumah yang ditinggal mudik penghuninya.
Cimahi, 24 september 2009.