Senin, 08 Februari 2010

Engkau Musuhku Malam Ini

Bantingan pintu itu jelas-jelas keras, jelas-jelas terdengar seperti suara geledek, tapi Indra acuh tidak acuh bahkan ia tidak peduli kalau saja pintu itu roboh lalu hancur berkeping-keping atau rumahnya ikut roboh sekalipun. Ia sudah sangat marah tanpa harus mempedulikan hal yang lain pikirnya, sambil terus berjalan mondar-mandir di teras rumahnya, ia terus meracau tidak jelas, mengeluarkan kata-kata yang terdengar seperti komat-kamit. Kemudian ia merogoh saku celananya, mengeluarkan sebungkus rokok dan mengambil sebatang rokok filter didalamnya lalu menaruh di sela-sela bibirnya, ia mencari-cari korek didalam celananya, merogoh-rogoh sambil terus komat-kamit tidak jelas, dia mengeluarkan sekotak korek api batangan lalu menyalakan rokok yang sudah sedari tadi berada di bibirnya.
Ia masih saja terus uring-uringan tanpa henti, dia bersandar di tembok. Rumah tua dengan gaya arsitektur art deco, masih dengan kursi-kursi dan meja kayu yang modelnya sudah tidak lagi diproduksi jaman sekarang, ia berada di sebelah kursinya itu, hembusan asap rokok langsung berbaur ditelan angin yang cukup dingin dan cukup kencang malam ini, ia terus menyedot rokok itu tanpa ampun tampak seperti orang kesetanan.

Tak lama ia mendengar pintu depan itu terbuka, suara engsel yang bercicit yang harusnya sudah ia beri oli agar tidak mengeluarkan bunyi yang menyebalkan. Muncul dibalik pintu sesosok wanita anggun, masih cantik untuk umur yang sudah kepala tiga. Ia adalah Mayang, istri dari Indra untuk sekitar 7 tahun ini, dengan suara yang sedikit bergetar Mayang lalu berkata. "Kamu jangan seperti ini mas, jangan jadi malah marah-marah, terus---"
Indra hanya terdiam, dengan mata yang menusuk bagai elang, air muka yang mendidih, ia tidak mengeluarkan suara barang sekata pun, Mayang menangkap ia tidak perlu lagi meneruskan kata-katanya, suaminya sudah sangat marah malam ini. "Kamu pikir pikiran kamu itu bisa aku anggap normal---bisa aku anggap ide yang brilian. Kamu gila, kamu pikir aku sudah cukup tidak waras." Hening sejenak, Mayang tidak langsung menanggapi perkataan suaminya. "Lalu bagaimana caranya kalau kamu pikir ide aku itu buruk mas, bagaimana...?!"

Tidak mempedulikan kata-kata istrinya, Indra mengeluarkan lagi sebatang rokok dalam saku celananya, ketika Indra menyalakan rokok, pancaran api dari korek batangannya menerangi wajahnya barang sedetik, Mayang bisa melihat raut muka Indra yang kurus, kulit yang agak terbakar matahari. Sedetik Mayang merasa sangat kasihan dengan nasib suaminya, Indra memang pekerja keras, ia memang tidak pernah lari dari tanggung jawabnya sebagai seorang suami dan seorang ayah untuk ketiga anak perempuannya yang masih kecil-kecil, sosok Indra sewaktu pertama kali Mayang bertemu dengannya memang sudah seperti ini, tapi ada perasaan yang berbeda sesudah ia menikahi atau lebih tepatnya mencintai seseorang yang bernama Indra yang sedang berdiri di depannya dengan mengeluarkan aura marah yang cukup kentara.

"Kalau kamu tidak mau dengan ide aku mas, ya tolonglah kamu sedikit kurangi keidealisan kamu itu di kantor. Coba seperti rekan-rekan kamu itu!" Indra sudah sangat sangat murka sekarang, ia seperti sedang terpanggang di bara api yang sangat panas.
"...Aku sudah bilang seribu kali ke kamu---orang-orang di kantor aku itu babi semua. Mereka itu orang-orang bodoh, yang kerjaannya tidak ada tapi menuntut untuk terus dapat bonus terus kenaikan gaji. Walaupun aku ini cuma seorang pns, aku tidak mau menjadi orang yang picik seperti itu---aku punya harga diri May..."
Dengan sigap Mayang memotong, "Terus mau kamu apa, kamu pikir dengan harga diri, kita bisa ngasih makan anak-anak kita, kita bisa bayar iuran sekolah mereka, pikir dong mas pikir---"
"Kamu pikir aku sekarang tidak sedang berpikir, aku ini tiap hari mikir May, aku---"
Mayang secepat kilat memotong kalimat suaminya. "Terus mana hasilnya, mana aku tanya, gaji kamu itu sangat pas-pasan mas---hanya bisa menghidupi sepuluh hari untuk kita berlima ini!"
Indra kembali terdiam tapi tetap raut mukanya masih murka, ia ingin sekali meledak, ia ingin sekali membenamkan kepala di dalam tanah, tanpa omongan-omongan dari istrinya pun ia sudah cukup pusing dengan segala macam pikirannya sendiri.

Indra lalu bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apa salah menjadi orang yang jujur, apa salah menjadi orang yang mendapat haknya dari hasil kerjanya sendiri, bukan uang buta, bukan uang haram, apa ia harus menjadi seperti orang-orang lain yang dengan bangganya mendapat uang bukan dari hasil kerja kerasnya, bukan dari keringatnya sendiri.
"Mas... mas, kamu kok malah ngelamun sih?" Indra tertunduk lesu, dengan pancaran mukanya yang berharap agar Mayang berhenti bicara.
"Aku sudah sangat pusing malam ini May, aku mohon besok saja kita lanjutkan obrolan ini."
Tampak Indra mulai mereda, tungkainya sudah sangat letih, sudah banyak beban mengendap disana, tapi bukannya malah mengiyakan perkataan suaminya Mayang malahan membombardir Indra dengan senapan mulutnya.
"Tidak bisa mas, kita sudah sangat kekurangan uang, tidak bisa santai-santai saja, ya sudah kamu nurut saja dengan---"
Giliran Indra yang memotong kalimat Mayang. "Cukup May... cukup. Kamu pikir dengan kamu menjual diri kamu ke mantan pacar kamu itu, bisa aku tolerir, aku bisa dengan santai hanya diam saja."
Angin sudah mulai sangat dingin, wajar, jam sudah memukul 11 malam.
"Hanya sekali mas, dia berjanji bakal memberi kita suntikan dana 20 juta, anggap saja aku hanya pergi jalan dengan dia, tidak tidur dengannya."
Mata yang asalnya sudah tidak cukup kuat untuk terbuka, dan mulut yang sudah mengatup, kini malah membuka sangat lebar.
"Harga diri kamu... kamu taruh dimana May, kamu pikir suami mana yang rela istrinya bersetubuh dengan laki-laki lain dan hanya bisa pasrah, kamu sudah tidak punya otak ya May..."
Dengan sangat murka dan setengah berteriak. "Karena aku punya otak mas, aku harus memberi makan anak-anak kita, kamu pikir dengan gaji kamu yang hanya 2 juta itu cukup buat menghidupi kita mas, menghidupi anak-anak kita."
"Aku tidak tahu May, aku cape!" Indra berkata tetapi yang terdengar seperti sebuah bisikan lirih.

Indra selalu saja luluh untuk segala omongan yang keluar dari mulut istrinya, ia sangat sangat mencintai istrinya dan sangat mencintai ketiga anaknya, suara burung hantu di kejauhan samar-samar terdengar membuat bulu kuduk terbangun, malam sudah lebih jauh jauh berlari, disaksikan bulan yang malu-malu mengintip dari balik awan, dan suara-suara angin yang bergesekan dengan pepohonan.
Indra hanya bisa menangis di obrolan malam yang cukup kelam ini, ia sudah tidak sanggup untuk berkata apapun lagi, ia terjatuh lesu di atas kedua lututnya, mengutuk kehidupan yang sangat sangat tidak adil untuknya, untuk keluarganya.

*Cimahi, 27 Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar