Jumat, 13 November 2009

Kubangan

Sore hari ini adalah sore yang menyenangkan, hujan siang tadi cukup membasahi tanah-tanah kering yang sudah lama tidak dijumpainya. Oh, saya jatuh cinta sekali dengan bau tanah kering yang menguap dibasahi hujan, harum itu tidak akan pernah ditemui dimanapun dalam keadaan apapun lagi, hanya ketika air turun dari langit ke bumi. Tapi hujan telah berhenti sekarang, tergantikan sinar matahari yang bersahabat dengan kulit, coretan warna-warni yang terpampang indah di dinding langit, sisa-sisa hujan yang masih mengalir pelan dan jatuh dengan berirama dari atap rumah, pepohonan masih meneteskan tetesan air sesekali, dan tanah yang semula kering merontang berubah menjadi sangat lembek, basah, dan terdapat beberapa kubangan di sekitar.

Sore ini mungkin beberapa orang mengerutkan niatnya untuk bepergian, atau hanya jalan-jalan di sore yang indah ini, karena jalanan menjadi becek dimana-mana, entah mereka kebanyakan takut akan kotor atau takut akan hujan membasahi bumi kembali.

Tetapi tidak bagi beberapa anak-anak yang menjadikan tanah lapang becek berkubang menjadi arena bermain mereka, mereka tidak peduli akan basah akan kotor. Ada beberapa anak yang mengenakan kaosnya dan ada pula yang bertelanjang dada saja, seolah-olah sikap yang menantang, mengumandangkan bahwa mereka tidak takut akan tanah yang becek, bahwa tidak peduli kotor yang menempel, bahwa mereka bahagia.

Mereka tampak seru bermain sepakbola, yang lebih tepatnya mereka bermain lumpur ketimbang bermain dengan bola, wajah-wajah muda yang berseri-seri itu tidak pernah pudar dan seringkali meledak tawa-tawa mereka yang membuat orang lain pun tersenyum. Bola yang semula berwarna putih hitam cemerlang, kini didominasi warna coklat kehitaman yang berasal dari lumpur, bola itu ditendang oleh salah satu anak mengarah pada kawanan teman-temannya yang berkumpul di tengah lapang, lapang ini sebenarnya bukanlah lapang dalam artian sebenarnya, lapang ini adalah halaman rumah salah satu anak-anak itu yang tidak terlalu besar, mungkin bisa dibilang cukup kecil.
Bola yang tadi ditendang memuncratkan amunisi-amunisi lumpur yang menempel di sekujur karet bundar itu, alhasil beberapa anak terkena lumpur-lumpur yang melayang-layang di udara, tapi anak-anak yang terkena cipratan lumpur tidak nampak marah, malah sebaliknya tawa-tawa itu kembali menggelegar dan membahana di kumpulan anak-anak tersebut.

Ketika saya sedang menikmati tingkah laku anak-anak itu, saya kaget bola yang entah ditendang oleh siapa mengenai saya, dan saya pun terkotori oleh lumpur, saya tidak bisa marah dan saya tidak suka marah. Salah satu dari anak-anak itu berlari mendekat dan mengambil bola yang tergeletak tidak jauh dari saya dan kembali ke kawanannya tanpa berkata apa-apa, tidak apa-apa saya tidak marah.

"AHMAD KAMU BUKANNYA NGAJI, MALAH MAIN KOTOR-KOTORAN...PULANGGG!!
!",
seorang ibu dengan air muka yang garang dan menggenggam sapu di tangan kanannya, berkata atau lebih mendekati berteriak kepada salah satu dari beberapa anak yang sedang tertawa kencang, lalu si anak yang merasa namanya dipanggil, dengan segera mengambil kaosnya yang tergeletak ditanah dan segera berlari dengan wajah takut menghampiri ibunya, mungkin hujan atupun lumpur tidak sama sekali membuat takut dia tapi tidak dengan sosok ibunya yang sangat menciutkan nyalinya.

Anak-anak yang lain tidak menggubris dengan salah satu temannya yang dimarahi, malahan mereka melanjutkan kembali permainan bola lumpurnya. Mereka seperti tidak mengenal lelah, jangankan lelah menghela nafas pun sepertinya tidak, malah cekikikan-cekikikan yang keluar dari mulut mereka.

Hingga sang matahari yang tinggal setitik lagi lah yang membuat anak-anak itu berhenti, dan lagipula terdengar sayup-sayup lirih suara adzan maghrib yang berkumandang, mereka mulai memunguti kaos dan sandal yang tercecer di tanah, satu persatu dari mereka meninggalkan tanah lapang itu sambil sesekali bercanda, anak yang sudah aku tunggu dari semula berjalan ke arahku dan lalu menghampiriku, salah satu temannya memanggilnya lalu ia menoleh kebelakang lalu berteriak kepada teman-temannya,
"besok kita main lagi ya teman-teman!!!",
kemudian ia berpaling kepadaku, menaikiku, memegang kedua besi yang menyabang di diriku, dan lalu mengayuh kakinya pada kedua pedal yang menjadi bagian tubuhku, berputarlah kedua kaki-kaki karet bundarku, melesat dengan cepat di jalanan yang basah, dan dingin.
"ayo kita pulang sepedaku!"


* Teras dari sebuah rumah yang ditinggal mudik penghuninya.
Cimahi, 24 september 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar