Jumat, 13 November 2009

A Tales of Rubber Duck

Pada suatu waktu di suatu tempat, tersebut sebuah kisah dari seekor bebek karet berwarna putih. Yang seluruh hidupnya ia habiskan dengan mengarungi arus-arus air dalam selokan bawah tanah dunia.

"apa yang harus aku lakukan dengan waktu ?",
Acap kali pertanyaan itu menggaung di kepala karetnya. Apakah ia harus menampar-namparnya, atau mengiris-ngirisnya dengan pisau hingga tercecer, ataukah membelainya dengan penuh cinta dan kelembutan, begitu lembut ?! begitulah yang ia pikir.
Tapi sering kali sang takdir berucap lain, ia berujar kata-kata yang terkadang memekakan telinga.

Ia terombang-ambing oleh arus air yang entah membawanya kemana, terantuk-antuk akan batasan-batasan hidup, kadang ia menemukan suatu peraduan yang bersih yang airnya wangi dan bercahaya terang, saat itulah ia merasakan belaian lembut kehidupan.
Manisnya udara yang merasuki rongga-rongga dari tiap jengkal tubuhnya, kadang ia pun bernyanyi lagu yang sering ia tembangkan, yakni "wouldn't it be nice",

"...Wouldn't it be nice if we were older
Then we wouldn't have to wait so long
And wouldn't it be nice to live together
In the kind of world where we belong..."


Ia bernyanyi dengan senyum terukir di wajah karetnya, tidak lupa sambil menggoyang-goyangkan kepala kecil karetnya.

Tapi ketika ia berada pada satu persimpangan dan mengecup sebuah tempat yang gelap, kotor, dan berbau busuk, waktu mengendur dengan panjangnya, yang tiap detiknya ia merasa bahawa ia dikutuk atas hidupnya. Ia memebersihkan pipinya yang ternodai dengan air mata, air mata yang memberinya damai, tetapi harus ia bayar dengan darah, warna yang beracun.
Kebahagian yang ia sentuh harus ia bayar tiap sen nya, hidup tidak adil pikirnya, memang hidup tidak adil untuknya.

Adegan - adegan akan lembaran - lembaran hidup terasa berulang-ulang, seperti adegan yang direka ulang. Deja vu.
Ya, deja vu yang sudah kadaluarsa, siklus ini, kejadian ini terasa begitu basi layaknya susu yang disajikan malam hari tetapi baru diteguk di pagi hari, asam.

Ia tidak menyesali hidupnya yang sekarang ini, ia sedang menjalani mimpinya, yakni. Hidup bebas. Tidak terkekang apapun dan siapapun, dan tidak pula mengekang, ia begitu hidup, kejadian-kejadian atas hidup yang menimpa dirinya adalah murni atas kehendaknya sendiri dan kehendak Tuhan tentunya.

Pernah satu waktu ia melewati selokan yang diatasnya berdiri sebuah kota yang megah, mungkin. Karena ia hanya bisa mendengar bunyi-bunyi yang tiada henti, dan suara alunan musik yang menggelegar. Sekonyong-konyongnya ia menemukan seekor bebek karet wanita yang sama, yang sedang mengalir mengikuti aliran air selokan yang sama, mereka mengalir bersama, mereka kerap mengobrol, membicarakan tentang tempat-tempat indah yang mereka pernah lalui, bercanda ria, tertawa-tawa bersama. Kala itu ia merasa sangat bahagia tidak harus menjalani hidup ini sendirian, oh...ia bersyukur akan hidup.
Tetapi rupanya takdir berkehendak lain, di satu cabang aliran selokan, bebek karet wanita itu mengikuti aliran selokan ke arah kanan sedangkan ia mengalir ke arah sebaliknya.
Kembali terucap kata dari seekor bebek karet itu, hidup tidak adil.

7 bulan berlalu.

Bebek karet itu telah mengalami fase-fase hidupnya, ia telah kuat, ia telah sangat siap dengan apa yang akan takdir sajikan di depan matanya.
Guratan - guratan atas apa yang pernah ia alami terukir jelas di wajah dan seluruh tubuhnya, ia mulai lusuh, warna tubuhnya tidak secemerlang seperti awal, penglihatannya pun seakan memudar,
"takdir telah melukis karyanya di sekujur tubuhku",pikirnya.
Merangkak, telah ia hadapi.
Tenggelam, pernah ia lalui.
Tersenyum paling manis, pernah menghampiri.
"apa lagi yang waktu akan beri untukku ?!"

Tanpa sadar pengalaman yang raksasa telah menunggunya didepan, telah menantikan seekor bebek karet yang telah berjuang hingga saat ini. Sang bebek karet itu hanya menantikan mati, hanya ingin mengakhiri perjalanan ini dengan damai dan serba putih.
Ia telah cukup lelah mengarungi hidup semata wayangnya ini. Tapi.
Pusaran air didepan tak bisa ia hindari, ia terputar - putar bersama air dan segala apa yang dikandunganya.
Ia tenggelam, tetapi ia bisa tenang bernafas didalam air.
"inilah saatnya !", ia duga.
Lama ia menutup mata, menantikan ajal hidupnya dengan tenang,
tak lama waktu berselang, ia membuka bola matanya.
Ia takjub dengan apa yang dilihat oleh kedua matanya,
"apakah ini surga, apakah ini yang disebut orang kehidupan setelah kehidupan ?!",pikirnya.

Hamparan air yang sangat luas telah terbentang jelas dihadapannya,
Laut.
Sejauh ia menerawang, hanya hamparan air yang sangat luas yang ia lihat.

"Oh, takdir ingin aku masih berjuang melawan hidup, aku harus siap dengan apa yang telah diberikan untukku !",

Bersambung.

Artwork By Aldmodt "Duck In Sewer"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar