Senin, 30 November 2009

Seorang Pria dan Sebuah Kursi Goyang

Dingin...
dingin sekali, tulang-tulangku seakan beku menggigil, gigiku bergemertak tak teratur mengeluarkan suara seperti kursi kayu tua yang dihentak-hentakkan dengan cepat, degup jantung seperti yang tak bernyawa. senyap. Malam ini adalah malam ketujuh langit menghujani bumi seperti bom tiada henti, tidak pernah berhenti hanya melamban tapi tetap basah.
Gulma-gulma sudah mulai meliar keluar dari dalam ranah. Merimbun.
Jalanan yang lembab serta meluber dan warna hijau di pinggiran. Melumut.
Angin dingin yang berhembus seperti menyembunyikan pasukan berpedang tidak nampak menusuk-nusuk daging. Sudah cukup lama bulan tidak menampakkan batang hidungnya di muka langit, yang biasanya memperlihatkan seorang nenek yang sedang menyulam atau sang kelinci pengelana, sama halnya dengan para bintang yang biasanya genit, berkedap-kedip. Tidak ada. Lama awan kelabu kehitaman itu mengatapi
rumah bumi ini, bayangannya membuat samar antara siang menjadi malam, dan malam menjadi sangat malam. Gelap. Ditambah rintik-rintik hujan seperti ini, keadaan menjadi semakin mencekam.

Uap dari secangkir teh panas itu meliuk-liuk di udara malam ini, melayang-layang hingga akhirnya lenyap berbaur dengan udara, tersudut di sebelah saya, sebuah meja kecil yang diatasnya tergolek satu piring kue, satu vas yang hanya ada satu bunga, bunga mawar putih, dan secangkir teh panas yang entah berapa lama lagi menjadi panas.
Saya duduk di atas kursi goyang tua yang tersematkan sebuah bantal sebagai alas, saya senang mendapati diri saya berada di depan rumah, di teras ini, bagian dari rumah ini lah tempat kesenangan saya untuk sekedar membunuh waktu. Saya berpikir kenapa hujan terus menetes tanpa henti, aneh saya pikir, tapi mungkin ini hanya fenomena alam biasa. Lagipula apa yang bisa saya kerjakan di usia senja saya seperti sekarang, usia yang sudah bertanduk 7, tubuh yang sudah reot, panca indera yang sudah menuli, membuta, saya kira inilah kegiatan utama saya sekarang, duduk di kursi goyang tua, sambil hanya memandangi pemandangan dan banyak melamun.

Kekasih saya sekaligus istri saya sudah terlebih dahulu meninggalkan saya di dunia ini, belahan jiwa saya, cinta sejati saya, dia adalah wanita paling tepat dan paling hebat yang saya pilih untuk menjadi pendamping saya di kehidupan yang singkat ini, betapapun saya tidak ditinggal sendiri di dunia indah ini, saya tinggal bersama anak perempuan saya, anak terakhir dari ketiga anak perempuan saya, ia bernama Malina, Malina Rarasati, dia adalah anak yang cantik, ia sudah menikah, ia dinikahi oleh seorang pria yang baik, sangat baik justru, penyayang, dan sangat bertanggung jawab, saya tidak peduli apa profesinya, saya bukan manusia sedangkal itu, tapi pastinya pekerjaanya halal dan mampu menghidupi anak perempuan saya dan kedua cucu kembar saya yang lucu, saya bahagia bersama dengan keluarga anak saya ini, saya merasa terus hangat, saya senang Malina memilih pria sempurna dalam hidupnya.

Ketika akhir pekan kadang-kadang anak perempuan saya yang nomor satu yang tinggal di Jakarta datang menengokku, dia bernama Maharani Rarasati, ia berkunjung bersama suami dan anak-anaknya, tapi anak perempuan saya yang nomor dua jarang mengunjungi saya di Bandung, karena ia ikut bersama suaminya yang berkewarnegaraan Inggris, dan dia bernama Mayasita, Rarasati nama belakangnya pastinya, saya rindu dengan dia, kami terpisah jarak ruang dan waktu, tapi kadangkala dia menelepon dari sana hanya untuk menanyakan kabar, saya, Malina keluarga, Maharani keluarga, atau kadang-kadang ia bercerita tentang perasaannya, semua anak saya memang terbiasa berbagi isi hatinya dengan saya dan mendiang istri saya, sekarang hanya bisa kepada saya, tak ada batas usia, saya nyaman bisa menjadi pendengar dan motivator bagi ketiga anak saya.

Saya sangat merindukan seluruh keluarga saya berkumpul, terutama istri saya, kami adalah keluarga paling bahagia di muka bumi ini, keluarga paling bahagia yang pernah diciptakan tuhan, saya rasa. Saya menikmati ketika pikiran ini menerawang jauh ke masa lampau, terutama ketika saya seperti sekarang, hanya duduk di kursi butut ini sambil melihat jalanan tepat seberang halaman rumah anak saya, tapi hujan yang sudah berlangsung 7 hari ini seperti membawa kesan aneh, bahkan mungkin seperti hendak menyampaikan suatu pesan, pesan yang aneh pastinya, selama 7 hari dan tepatnya pada malam hari, keadaan menjadi sedikit berbeda lewat kacamata saya, entahlah bagaimana, tapi nalar saya mengatakan ini berbeda.

Selama 7 hari ini dengan hujan terus mengguyur, saya disajikan pemandangan yang aneh, seperti, saya melihat kucing berseliweran, saya tahu apa anehnya dengan kucing, tapi, mereka semuanya berwarna hitam, hitam kelam, dan mereka mengeluarkan suara miaw yang miris, seperti orang kesakitan. Lalu beberapa malam yang lalu, saya melihat banyak orang-orang yang mengenakan baju putih, seperti bukan baju, tapi seperti daster dengan ikatan di beberapa tempat di tubuh mereka, dan yang paling aneh menurut saya adalah cara berjalan, cara berjalan mereka melompat-lompat pelan, seperti merasakan panas bila bersentuhan dengan tanah, bertanya-tanya saya jadinya. Dan setelahnya seringkali dibelakang para manusia yang berbaju putih itu, mengikuti beberapa orang lagi yang berbeda, mereka tinggi besar, saya tahu itu karena mereka hampir setinggi gerbang rumah anak saya yang lebih dari 2 meter, dan mereka berbaju dan berkerudung hitam, rasa penasaran membius kepala, tapi toh saya tidak beranjak dari kursi ini.

Ketika baru saja saya melihat salah satu orang yang berbaju putih itu dipecut berulang-ulang oleh orang yang berbaju hitam, niatnya saya hendak mengahampiri, tapi tiba-tiba pintu depan terbuka, dan keluarlah anak perempuan saya, Malina, tapi ia tidak melirikku, kemudian ia duduk di tangga teras, ia hanya terdiam, dan ketika saya hendak mau menghampirinya, pintu depan itu kembali terbuka, kali ini suami anak saya, kemudian ia duduk disamping Malina, dan ia pun tidak menghardik aku yang duduk di kursi goyang ini, kenapa saya pikir, apakah mereka memang benar-benar tidak melihat saya, lalu keluar kalimat dari Malina yang memecah kesunyian, ia berkata,

" Bapak pasti menyukai sekali malam ini, langit sangat cerah, serangga-serangga bersenandung dimana-mana, damai sekali." Malina tersenyum pada langit, lalu melihat ke suaminya.

aneh....?!, saya pikir.

" iya, ayah juga yakin bapak pasti sangat menyukainya, terutama malam ini, malam ini memang cerah sekali, ditambah dengan benderang cahaya bulan purnama, memang tenang sekali."

hah...?! cahaya bulan purnama...?! saya berkata dalam hati.
ketika saya baru saja mau bersuara, Malina kembali berkata,


" saya kangen sekali dengan bapak, sama ibu juga!", terlihat jelas oleh saya air mengalir dari sela matanya, lalu suami Malina memeluknya dan mencium kepalanya.

" saya tahu sayang, tapi kamu ngga boleh seperti ini, kamu harus ikhlas, bapak pasti sudah senang di alam sana, mungkin beliau sudah ketemu dengan ibu, sekarang kan sudah hari ketujuh semenjak bapak pergi meninggalkan kita!"

kata-kata itu...kata-kata itu tepat berakhirnya dengan gemuruh suara guntur yang membelah langit dan membelah hati saya, saya tidak percaya, jadi sudah tujuh hari saya meninggal dunia, tapi kenapa...kenapa?!, saya sedih sangat sedih, tapi aneh tidak menetes air mata dari kelopak mata saya?

" kita duduk di kursi ya sayang, kamu duduk di kursi goyang kesukaan bapak, yah!!!"

" ayah sudah membuat teh panas sebelumnya, makan juga kue nya ya sayang, biar hati kamu tenang, biar bapak juga tenang di sana!"

Malina pun menuruti apa yang dikatakan suaminya, ketika Malina hampir saya duduk di pangkuan saya, dia dengan mulusnya duduk kursi goyang saya ini, dia menembus tubuh saya, dan saya kemudian berdiri, saya baru sadar bahwa saya ini roh, roh yang melayang-layang selama 7 hari ini, dengan alam yang sama tetapi berbeda suasana dan penglihatan.

Yanuar Kapriradela
Cimahi, 14 November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar